[Ahmad Hambali Site]

Begitu mereka ada, dunia menjadi tidak sederhana. Setiap kenikmatan menjadi hambar tanpa keikutsertaan mereka. Bagiku, kenikmatan dunia hanya ada, jika mereka juga menikmatinya. Inilah dunia kami, Dunia, dimana tangis, tawa dan bahagia berjalan beriringan

Political parties lack commitment to public services April 16, 2009

Filed under: Catatan — ahmadineia @ 8:15 am
Tags: ,

The Jakarta Post , Jakarta | Fri, 03/27/2009 1:43 PM | National

Despite regional autonomy having been rolled out in Indonesia a decade ago, most political parties contesting the 2009 elections have remained almost silent about improving public services at local level during their campaign rallies.

Instead of explaining to their wealth-hungry constituents their strategies to alleviate poverty and improve the local economy, most parties have taken the opportunity to prematurely introduce their presidential candidates or lure support through musical performances.

Economic issues have been raised, including the late distribution of direct cash assistance (BLT) for millions of poor families, but most of them have been turned into mere rhetoric among rival major parties.

The parties, regardless of popularity and ideology, seem to be avoiding direct discourse about their long-term plans on improving the implementation of regional autonomy, critics say.

“The implementation of regional autonomy is key to the government’s efforts to provide people with better public services,” Cecep Effendi, a political analyst from the German government’s Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ), said Tuesday.

“But this is ironic, because none of the parties has so far prioritized the issue of improving the implementation of regional autonomy in its campaign agenda.”

Since the Regional Autonomy Law took effect in 1999, Indonesia has seen the formation of 191 new legislative regions, including seven provinces, 163 regencies and 33 municipalities.

This boom, Cecep went on, had failed to effectively deliver public services, because the regional budget allocated for public spending was still far too low.

Spending on healthcare, for instance, accounts for between 3 and 5 percent of most regional budgets, while the budget allocation for education remains far below the constitutionally mandated 20 percent.

GTZ and several NGOs recently examined the official platforms of parties contesting the upcoming elections, to gauge their commitment to improving regional autonomy.

They found only 16 of the 38 parties had stated in their platforms the issues of regional autonomy improvement.

But the NGOs discovered only nine of the parties stated their agenda on regional autonomy more clearly than others, although most platforms were still “far from comprehensive”, according to Agung Pambudhi, executive director of the Monitoring Committee of Regional Autonomy Implementation (KPPOD).

The nine standout parties include the Prosperous Justice Party (PKS), the Crescent Star Party (PBB), the Labor Party and the Prosperous Peace Party (PDS).

The Golkar Party and President Susilo Bambang Yudhoyono’s Democratic Party gave a one-paragraph mention of regional autonomy in their respective platforms, but did not touch on it again.

The examination also found the improvement of regional autonomy implementation was lacking from the platforms of several major parties, including the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P), the United Development Party (PPP), the National Mandate Party (PAN) and the National Awakening Party (PKB).

Ahmad Hambali from the Regional Autonomy Centre (TRAC) attributed centralized leadership for the parties’ failure to put public services revamp on their agendas.

“Party policies and platforms tend to serve the political interests of top leaders,” he said. (hwa)
http://www.thejakartapost.com/news/2009/03/27/political-parties-lack-commitment-public-services.html

 

Panik di Pemilu 2009 April 15, 2009

Filed under: Catatan — ahmadineia @ 8:29 am
Tags: , ,
Jika berbagai masalah dalam pemilu 2009 ini semakin terlihat oleh publik, maka sudah bisa dipastikan bahwa secara administratif, pemilu kali ini merupakan pemilu yang paling tidak terkelola dengan baik. Walaupun pemilu hanya sekedar cacat adiministratif namun satu masalah ini saja sudah cukup mampu memicu berbagai kesalahan lain yang berujung pada gugatan dan delegitimasi hasil pemilu. Oleh karena itu jangan sampai masalah ini kemudian memberi efek domino ketidakprofesionalan KPU yang gagap menyelenggarakan pemilu. Wajar saja, atas kenyataan ini, semua kalangan bereaksi melalui berbagai mekanisme yang bermacam-macam. Mulai dari kecewa, gusar hingga panik. (more…)
 

Catatan Kampanye Bidang HAM Pemilu Legislatif 2009 April 8, 2009

Filed under: Catatan — ahmadineia @ 10:00 am

Hingar-bingar kampanye pemilu 2009 telah berakhir. Janji dan program telah berserak diseantero negeri guna meyakinkan para pemilih. Hampir semua partai dan caleg memainkan koor yang sama, mulai dari kemiskinan, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan hingga penegakan hukum. Jelas sudah, hampir semua partai dan Caleg yang berlomba-lomba menjadi pemain dan perumus kebijakan mendatang tidak memiliki program yang jelas tentang bagaimana menyelesaikan kasus kekerasan negara masa lalu. Kondisi sebagian besar masyarakat yang tidak berdaya dalam menghadapi keseharian menjadi salah satu picu tenggelamnya persoalan ini. Isu-isu pragmatis dan kepentingan hidup harian lebih menjadi fokus masyarakat yang dimainkan sedemikian rupa oleh para politisi. padahal walaupun cukup sulit menempatkan isu penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dalam kampanye pemilu 2009, namun berbagai rentetan yang terkait dengan subtansi penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari tujuan perbaikan nasib bangsa ini kedepan sebagaimana konon terdapat dalam tujuan pemilu.

Semua persoalan ini bisa ditelusuri antara lain dari beberapa hal seperti atap bocor penegakan hukum yang merapuh dan memicu tumbuhnya jamur impunitas diseluruh dinding nusantara. Dengan dua kerusakan akut ini, maka efek domino kerusakan lain seperti crime of silent yang menerpa para korban dan kampanye masif para pelaku kejahatan dipanggung-panggung menjelang pemilu yang mempersonifikasikan dirinya sebagai messias dan pahlawan semakin tidak bisa dideteksi secara baik oleh masyarakat. Akibatnya, negara bukan hanya semakin tidak memiliki jalan untuk merestorasi strukturnya tapi juga berpotensi terjerembab dalam lingkaran kultur impunitas yang semakin kuat.

Tidak dimilikinya pemahaman yang sama tentang perlunya menyelesaikan kekerasan negara masa lalu sebagai dasar pijakan yang benar dalam membangun masa depan juga menjadi problem tidak tampilnya program ini dalam kampanye. Para caleg bahkan mungkin Capres belum mampu menelusuri hubungan erat antara komitmen menuntaskan masa lalu secara patut, adil dan baik sebagai ukuran keberhasilan membangun masa depan. Masa lalu hanya dikaitkan dengan sejarah yang biarlah berlalu, belum menjadi hikmah dan pelajaran penting sebagai salah satu bekal hidup.

Hampir semua orang baik yang terlibat maupun tidak dengan masa lalu belum memiliki cara pandang yang holistik mengenai pentingnya menyelesaikan problem masa lalu sebagaimana berbagai tokoh pembaharu dan rekonsiliator dunia seperti Nelson Mandela melakukannya. Dalam perkataannya yang terkenal, Mandela memulai penuntasan masa lalu Afrika Selatan yang kini menjadi negara paling maju di Afrika dengan keyakinannya “to forget and forgive we should know what actually happend.”

Kemungkinan yang lain sehingga program penyelesaian kekerasan masa lalu tidak menjadi agenda kampanye pileg 2009 adalah adanya fakta masih dikuasainya panggung-panggung politik oleh elit tentara yang diduga keras belum bahkan menolak untuk bertanggung jawab atas tuduhan kekerasan masa lalu secara adil, baik dan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. Nama-nama seperti Prabowo di Partai Gerindra, Wiranto di Partai Hanura, Sutiyoso di Partai Indonesia Sejahtera, Hartono di PKPB dan masih banyak lagi semakin mempersempit munculnya ruang kampanye penuntasan kasus kekerasan masa lalu dalam pesta demokrasi 2009.

Jelas tidaklah netral bila seseorang yang dekat atau menjadi kolega dan sekutu para pihak yang diduga melakukan pelanggaran HAM menampilkan konsep soal bagaimana memperlakukan masa lalu. Karena jawabannya tentu saja pasti hanya terfokus pada semata melupakan tanpa memperhatikan suara asli dari para korban. Namun, sayangnya, pihak yang netral sekalipun masih sering belum bisa mendudukan wacana ini dalam posisi yang memadai. Sehingga suara yang terdengar sering lebih dekat dengan upaya melupakan yang melanggengkan kejahatan kebisuan (crime of silent). Bagi jutaan korban kekerasan negara, penyelesaian masa lalu begitu penting untuk tidak saja menegaskan identitas mereka yang selama ini distigma buruk tapi juga berimplikasi pada gerak dan aktifitas kehidupan mereka yang sudah terlanjur didiskriminasi.

Bagi pemerintah, penyelesaian masa lalu yang tepat dan benar diyakini mampu memunculkan virus dan arah bangsa yang salah jalan untuk bisa diperbaiki. Reformasi birokrasi yang dicanangkan dalam gelombang perubahan 1998 lalu, hanya akan menemui kegagalan seperti yang sekarang terjadi karena ketiadaan komitmen semua pihak dalam menyelesaikan problem kekerasan masa lalu. Yang lebih buruk lagi, ketakutan pemerintah dalam menghadapi persoalan ini berujung pada menguatnya iklim kekebalan hukum (impunitas) bagi para pelaku dan elit lainnya. Ini tentu saja berbanding terbaik dengan visi penegakan hukum yang profesional. Budaya kebal hukum dan tebang pilih akan terus terjadi selama penyelesaian kekerasan masa lalu dipinggirkan.

Bagi sebuah bangsa, penyelesaian kekerasan masa lalu juga menjadi salah satu ujian penting keberanian dan keberhasilan dalam menghadapi persoalan bangsa yang lain. Pelaksanaan penanganan penyelesaian kasus masa lalu akan menjadi suatu kualifikasi tinggi tersendiri yang akan menjadi modal bagi penyelesaian masalah bangsa lainnya.

Bagi masyarakat, penyelesaian kekerasan masa lalu yang baik dan benar dipercaya tidak saja meluruskan dan memoderasi sejarah Indonesia yang penuh kekerasan, namun juga akan berdampak langsung pada pemberdayaan pemahaman masyarakat dalam menciptakan kultur pemerintahan yang bersih, kredibel dan berwibawa. Kegagalan pemerintah dalam menyelesaikan kekerasan masa lalu dalam konteks pemilu antara lain menyebabkan masyarakat tidak paham mana caleg atau capres yang tidak memiliki hutang masa lalu yang harus dipertanggungjawabkan.

Tidak hanya itu, ketidakmengertian masyarakat akan fakta dan karakter sesungguhnya caleg dan capres yang ada karena ditutupi iklan sepihak yang tentu saja manis, membius bahkan menipu menyebabkan bangsa ini dikuasai oleh para despotis yang membungkus dirinya sehingga tanpa cela.

Tanpa konsep yang jelas dalam menangani kekerasan masa lalu seperti yang tidak tampak dalam kampanye pileg, maka penyanderaan terhadap perubahan yang sesungguhnya akan terus berlanjut. Tidak hanya itu, fenomena tersebut juga akan berdampak pada melemahnya subtansi demokrasi karena hanya tampil sebagai mekanisme yang memungkinkan siapapun termasuk penjahat untuk duduk di kursi kekuasaan.

Jika anda ingin perubahan yang sesungguhnya, salah satunya bisa dilihat seberapa jauh orang atau kelompok memiliki dan melaksanakan konsepsi penyelesaian kekerasan masa lalu. Tanpa konsep ini, maka bisa dipastikan, kehadirannya tidak akan memberi arti yang banyak bagi perubahan Indonesia kearah yang lebih balik.

Selamat memilih.