[Ahmad Hambali Site]

Begitu mereka ada, dunia menjadi tidak sederhana. Setiap kenikmatan menjadi hambar tanpa keikutsertaan mereka. Bagiku, kenikmatan dunia hanya ada, jika mereka juga menikmatinya. Inilah dunia kami, Dunia, dimana tangis, tawa dan bahagia berjalan beriringan

Kolonialisme dan Deteritorisasi Israel atas Palestina January 28, 2009

pc-obama-rosie-lg5Agresi penghujung tahun 2008 Israel memang telah berhenti. Namun sayangnya, agresi itu tidak berhenti karena tekanan kelompok dan negara beradab manapun. Tidak PBB, apalagi Uni Eropa bahkan Liga Arab sekalipun. Berbagai peristiwa dan kepentingan politik dalam dan luar negeri Israel lah yang menyebabkan agresi itu terhenti. Pemilu Israel dan reformulasi kebijakan Amerika dibawah presiden yang sempat ‘nyasar’ ke Indonesia terhadap Israel merupakan alasan kuat bagi Israel untuk menghentikan kejahatannya di Palestina untuk sementara.

Arogansi dan budaya barbar Israel dalam memastikan ketertindasan bangsa Palestina diatas tanah airnya, merupakan wajah dunia kita hari ini. Meski Washington telah ditempati oleh presiden kulit hitam pertama yang mencetak sejarah Amerika, namun hampir dipastikan, dunia begitu pula nasib Palestina, secara subtansial tidak akan berubah.

Publik  sudah terlalu paham bahwa hampir seabad ambisi jahat Israel terhadap Palestina berlangsung, selalu ada andil sekelompok politisi Amerika yang mendalangi semua itu. Tanpa itu, sangat tidak mungkin, Israel bisa berhasil dengan sukses mengokupasi tanah dan membunuh bangsa  Palestina. Tanpa dukungan Amerika, sangat tidak mungkin, dunia arab terpecah berkeping-keping menyaksikan kemungkaran dan kezaliman atas saudaranya yang didoktrinkan oleh Islam sebagai satu tubuh.

Legalisasi Penjajahan Modern

Menengok jauh kebelakang, bahwa kehadiran Israel di Timur Tengah bisa dijelaskan pada berpadunya ilusi promise land bangsa Yahudi di Palestina dengan kepentingan politik luar negeri Amerika dan sekutunya di Timur Tengah yang kaya akan migas. Kedua kepentingan tersebut semakin terakselerasi dengan munculnya peristiwa pembunuhan masal kaum yahudi oleh Nazi.

Kampanye untuk menempatkan seluruh orang yahudi didunia sendiri telah dimulai sejak tahun 1800an di Eropa yang membidik tanah Palestina sebagai lokasinya (2006: 1-4). Gagasan itu diwujudkan dengan mengirimkan 40.000 imigran yahudi memasuki Palestina (1882-1903), salah seorang yang membiayai pendudukan tersebut adalah Baron Edmond de Rothschild.

Tahun 1896, Theodor Herzl, seorang jurnalis yahudi Austro-Hungarian mendorong berdirinya negara yahudi di Palestina. Pada saat yang sama Jewish Colonization Association, yang didirikan 1891 di London oleh Baron Maurice de Hirsch, mulai membiayai pendudukan imigran yahudi di Palestina. Tahun berikutnya,  Kongres Zionist di Switzerland mendirikan World Zionist Organization (WZO) dan merekomendasikan penguatan gagasan zionisme dengan pernyataan “home for the Jewish people in Palestine.” Sebagai tindak lanjut berbagai gerakan yang menyokong pendudukan, pada kurun 1904-1914, gelombang kedua 40,000 Zionis memasuki tanah Palestina sehingga populasi yahudi disana membengkak sekitar 6%.

Pendirian negara yahudi segera terwujud ketika Inggris yang memang memiliki wilayah kolonial di Timur Tengah melalui Menteri Luar Negerinya Arthur James Balfour mengeluarkan deklarasi Balfour 1917 untuk mengakui Israel  dan menerapkan apa yang mereka namakan “self determination of small nations”. Tahun berikutnya, Inggris dan sekutu secara resmi menjajah Palestina. Pada tahun 1919, Kongres Nasional Palestina pertama mendesak Paris Peace Conference untuk menghapus deklarasi Balfour dan mendesak kemerdekaan bagi Palestina. Namun desakan dan permintaan tersebut dijawab dengan rekomendasi membuat persemakmuran bagi Israel di Palestina.

Kolonisasi Inggris atas Palestina ini kemudian melancarkan okupasi Yahudi di Palestina dengan kedatangan 35.000 imigran gelombang ketiga sekitar tahun 1919-1923 yang dilanjutkan dengan Deklarasi 1922 untuk menyediakan lokasi tersebut bagi yahudi di Palestina. Walaupun ditolak oleh rakyat Palestina, gelombang eksodus yahudi memasuki Palestina semakin deras padahal ditahun yang sama, Liga Bangsa-Bangsa menyetujui mandat bagi Palestina.

Setelah organisasi teroris zionis Haganah berdiri Maret 1921, pada 1924-1928, gelombang keempat pendudukan Israel mengirim tidak kurang 67,000 imigran Zionis, 50% diantaranya berasal dari Polandia, sehingga meningkatkan populasi Yahudi di Palestina menjadi 16% yang mendiami 4.2% negara Palestina.

Pada tahun 1930an, kepemilikan tanah orang yahudi di Palestina bertambah 1% menjadi sekitar 6% seiring dengan kedatangan 250.000 imigran yahudi dalam gelombang kelima pendudukan. Sepuluh tahun setelah faksi teroris zionis lahir, organ teror Israel yang lain, Irgun Zvai Leumi (Irgun atau IZL) yang merupakan pecahan Haganah, dibawah komando Valdimir Jabotinsky berdiri. Organ-organ teror ini mambantu penguasaan tanah Israel di Palestina (beberapa dari tokoh kelompok ini kemudian menjadi Perdana menteri Israel, Yitszak Shamir), sejak saat itu konflik dengan bumbu kekerasan muncul. Sejumlah orang dari berbagai etnik dan agama di Palestina mulai menjadi korban (1995:54).

Pada 1933, Menlu Inggris, Winston Churcill mendesak petani Palestina untuk menyerahkan tanahnya kepada imigran Yahudi. Sikap Churcill itu dibalas dengan rekomendasi Konferensi Komite Nasional Palestina untuk menolak membayar pajak tiga tahun berikutnya.Ditahun yang sama 150 gerilyawan Lebanon mencoba menyerang Inggris. Setelah Komisi Peel (Royal), bentukan Inggris pada 1938 merekomendasikan untuk membagi 33% wilayah Palestina kepada imigran Yahudi yang ditolak negara arab, organ teror Israel IZL membom perkampungan Palestina dan menewaskan 119 orang. Aksi ini gagal dicegah, karena Inggris menangkap dan mengadili para pejuang Palestina.

Oktober 1939, organ teror ketiga Zionis Lochemay Herut Yisra’el (LEHI; “Fighters for the Freedom of Israel”) didirikan oleh teroris pembelot IZL Avraham Stern. Tahun itu juga, otoritas Inggris ditanah jajahan mengeluarkan pernyataan bahwa Palestina tetap diakui sebagai negara yang ditolak oleh Zionis. Sebagai balasannya, Zionis mendatangkan 60.000 imigran memasuki Palestina yang berlangsung 1940-1945. Tahun 1942, Avraham Stern terbunuh oleh pasukan Inggris. Dalam penyerbuan itu ditemukan bukti bahwa dana dan persenjataan organ teror Avraham dipasok oleh Nazi dan kekuatan fasis Italia guna merongrong kekuasaan Inggris di Palestina. Fakta ini semakin terang ketika Zionis melalui IZL dan Avraham gangs balik mengkampanyekan agar Inggris keluar dari Palestina. Kampanye ini semakin menguat setelah tokoh Zionis Amerika dan Israel mengadakan Konfrensi Biltmore di New York yang menyatakan bahwa Palestina akan menjadi negara persemakmuran Yahudi.

Pada tahun 1945, Haganah mengorganisir gelombang besar imigran ilegal Yahudi memasuki Palestina. Setahun berikutnya, Liga Arab bertemu di Syria dan mengeluarkan peringatan bagi Inggris dan Amerika untuk memberikan hak bangsa Palestina. Tahun 1947, atas desakan Amerika, Inggris angkat kaki dari Palestina dan PBB mengeluarkan sebuah kebijakan hegemonis untuk merampas tanah Palestina dengan apa yang disebut UN Partition Plan yang menghilangkan 55% lebih wilayah 1,3 juta warga Palestina ketangan 450 ribu orang Israel. Tentu saja kolonilialisme masal yang menguntungkan Israel ini ditentang oleh negara arab.

Komite politik Liga Arab mempersiapkan 3000 pasukan, 10.000 senjata dan dana 1 juta pounds seiring dengan semakin terkonsolidasinya kekuatan zionis dan maraknya aksi teror Haganah dan dukungan 250 Juta dollar Yahudi Amerika dan 12 juta dollar bantuan Cekoslvakia.

Sementara itu di Amerika, Presiden Truman secara diam-diam bertemu pemimpin Zionis Chaim Weizman untuk meminta dukungan berdirinya negara Yahudi 15 Mei 1948. Setelah serangan teror yang didukung Amerika, Cekoslovakia dan Yugoslavia, Israel secara resmi merampas wilayah Palestina dengan secara sepihak mendeklarasikan negaranya pada 1948. Setahun sesudahnya, Amerika memberikan US 100 juta bantuan ekspor untuk Israel (2008: 17).

Menjelang dua dekade, Israel kembali melancarkan kampanye Negara Modern Yahudi yang melobi PBB dan Amerika Serikat sehingga ia memperoleh dukungan presiden Harry Truman untuk mengusir 750.000 warga palestina dari tanah airnya sendiri sepanjang tahun 1947-1949. Tidak hanya itu, untuk melengkapi kejahatannya di Palestina, Israel melakukan 33 jenis pembantaian dan okupasi serta penghancuran 531 desa dan kota Palestina. Peristiwa ini dikenal dengan An-Nakba (Bencana) (tt: 12).

Israel tak berhenti melakukan serangan dan teror untuk mengusir dan menguasai tanah air Palestina, organ teror seperti IZL, Haganah dan Avaraham bersatu dan bermertamorfosis menjadi Angkatan Bersenjata resmi Israel (Israel Defense Force). Hingga serangan terakhir di tahun 1967, Palestina telah kehilangan hampir 70% wilayahnya dan hanya menyisakan jalur Gaza dan Tepi Barat.


palestine1946-2000

Kunci gelombang kemenangan Israel dalam mengokupasi Palestina terletak di Washington dengan membangun dan meyakinkan negara imperialis itu akan konsensi politik abadi di Timur Tengah. Israel telah menjadi ujung tombak posisi tawar Amerika di kawasan kaya minyak. Dengan keberadaan Israel, Amerika tidak hanya mampu mengendalikan negara-negara boneka Arab tapi juga mampu mengambil tindakan yang sangat cepat untuk merespon segala kepentingannya di Timur Tengah.

Dukungan Amerika terhadap Israel semakin menguat ketika beberapa pelaku politik dan kebijakan luar negeri Amerika mendirikan kelompok lobby pro Israel yang bernama The American Israel Public Affairs Committee (AIPAC) ditahun 1953 yang merupakan kumpulan dan berbagai blok politisi mulai dari republik, demokrat, independen dan kalangan non partai.

AIPAC sendiri didirikan oleh Isaiah L. Si Kenen dengan nama asli the American Zionist Committee for Public Affairs. Perubahan nama tersebut menurut Kenen ditujukan untuk memperluas dukungan dan pengikut. Dengan munculnya AIPAC, hubungan mutualisme Tel Aviv-Washington semakin jelas. Bagi Israel sendiri hubungan tersebut semakin menguatkan posisinya tidak hanya untuk melaksanakan politik kolonialismenya di Timur Tengah tapi juga untuk melawan negara-negara arab.

Penutup

Tidak ada yang berubah dari cara Israel sejak Zionis itu merampok hak dan tanah air bangsa Palestina. Agresi yang baru lalu juga memiliki motif sama yaitu penjajahan dan deteritorisasi Palestina dari peta dunia. Wajar bila Presiden Iran tidak mengakui Israel sebagai negara karena menjadikan agresi dan perampokan wilayah sebagai modus mendirikan negara dan kedaulatan.

Israel juga memberikan pelajaran bahwa kejahatan kemanusiaan dalam sisi tertentu diperlukan oleh Amerika dan sekutunya. Dengan demikian, penjajahan dan memerangi martabat kemanusian menjadi absah. Kasus Israel juga berupaya mengaduk-ngaduk logika dan akal sehat kita bahwa penjajah seperti Israel harus didukung dalam mempertahankan tanah jajahannya dari rakyat Palestina. Bahkan perlawanan rakyat Palestina untuk mengembalikan tanah airnya seperti yang pernah dilakukan oleh pejuang kita terhadap Belanda dijungkir balikan sebagai teroris. Jadi semakin jelas siapa master of terror yang sebenarnya.

Amerika membentengi dan memproduk seluruh kejahatannya di Timur Tengah dan Palestina melalui AIPAC. Dari sepak terjang AIPAC, Amerika melancarkan seluruh perangnya tidak hanya di Palestina, tapi juga Iraq, Afghanistan dan rencana menyerbu Iran. Wajar saja bila, bukan hanya New York Times menyebut AIPAC sebagai organisasi paling berpengaruh dalam warna kebijakan luar negeri Amerika, namun para pegiat HAM dan anti perang di Amerika sampai harus perlu mengorganisir dirinya menentang AIPAC dalam politik luar negeri Amerika.

Sumber Bacaan

Mike Berry and Greg Philo, Israel and Palestine, 2006,Pluto Press, pp. 1-4

John W. Mulhall, CSP, America and the founding of Israel, 1995, Deshon Press, pp.1

The Ethnic Cleansing of Palestine, by Israeli historian Ilan Pappe.

Jeremy M Shrap, US Foreign Aid To Israel, 2008, Congressional Research Service.

http://www.ifamericansknew.org/stats/usaid.html

Alison Weir, “Should the U.S. End Aid to Israel: Funding Our Decline,” CounterPunch, April 4, 2008.


Free Palestine and Bring Israel and Its Ally to Criminal Court

Boycott Israely and Its Ally Product


ad3bannerboycott1


boycott


images_big

 

Zionicide dan Syahwat Perang January 8, 2009

Filed under: Catatan — ahmadineia @ 9:29 am
Tags: , , , ,

Urusan pertumpahan darah bukanlah masalah yang muncul belakangan. Ia berumur sama dengan usia keberadaan manusia dibumi. Sejarah klasik mungkin mencatat tragedi Qabil yang membunuh Habil sebagai peristiwa pertumpahan darah pertama kali. Sejak saat itu, bisa disebut bahwa potensi negatif manusia atau kelompok mampu melakukan apa saja termasuk merebut kuasa tuhan dalam menumpahkan darah dan nyawa.
Di zaman sesudahnya, perang ternyata menjadi bagian dari sejarah peradaban manusia. Hal tersebut muncul antara lain karena manusia sedang mencari dan membentuk peradabannya sendiri, dengan demikian, perang memang pernah menjadi bagian dari peradaban manusia. Karena perang dan kekerasan pada waktu itu memang menjadi salah satu bahasa yang memaksa manusia atas manusia lain guna mewujudkan keinginannya.
Seiring dengan berkembangnya pola pikir manusia, perang ternyata tidak juga ditinggalkan, bagi para pencinta perang, rangkaian tindakan kekerasan masal tersebut dapat diolah menjadi sebuah strategi dan taktik. Semua bertujuan pada bagaimana menggunakan perang sebagai alat untuk mewujudkan keinginan. Namun demikian, perang tidak melulu berisi kekerasan, banyak anggapan dan literatur yang menyebut bahwa untuk mewujudkan sebuah keinginan, cara militeristik dalam perang sesungguhnya akan semakin memunculkan cibiran parameter primitif tidaknya sebuah entitas. Walaupun begitu, war lover sering selalu tidak peduli.
Hampir semua orang sepakat bahwa perang dan kekerasan memiliki wajah yang paling buruk ketika pengabsahan segala cara menjadi ujung tombaknya. Sikap tersebut kemudian terus dilangsungkan oleh negeri seperti Amerika, dan Inggris yang selalu menularkan karater destruktifnya keseluruh dunia lewat kolonialisme dan imperialisme hingga abad millennium menyongsong.
Bayangkan pada perang dunia kedua saja, Amerika dan Inggris mampu mengerahkan seluruh sumber daya nasionalnya untuk mengobarkan perang di Afrika, Eropa, Asia dan Pasifik. Demi tujuan-tujuan perang, Amerika tidak saja merekrut negeri pandir seperti Australia dan Belanda yang setuju dengan perang, untuk membentuk sebuah blok setan (axis of evil) dengan musuh-musuh mereka di Eropa dan Asia.
Jelas, perang memunculkan biaya yang tidak sedikit, menguras GNP Amerika dan pajak pemasukan yang ditangguk dari rakyatnya. Oleh karena itu, menjelang berakhirnya perang dunia dengan pura-pura merumuskan dan menandatangani Atlantic Charter di Teluk Placentia, Newfoundland 9-12 Agustus 1941, Amerika dan Inggris mulai memikirkan bagaimana membagi rata hasil rampokan sementara mereka belum melakukan aksi perampokan tersebut.
Dengan gagasan tersebut, Inggris membentuk sebuah sistem persemakmuran bagi koloninya yang paling tidak bisa menjamin kelangsungan dominasi ekonomi politik Britania Raya dinegeri bekas jajahannya. Sedangkan Amerika melapangkan sebuah rencana rekolonialisasi baru baik langsung maupun tidak langsung termasuk dengan melakukan imperialisme, liberalisme dan intervensi melalui saluran politik, ekonomi maupun militer.
Hanya negeri seperti Amerika yang mampu mengkudeta hampir separuh negeri-negeri merdeka tanpa diberi sanksi apapun oleh dunia. Jatuhnya Musaddeq di Iran 1953, Jacobo Arbenz di Guatemala 1954, pembunuhan mantan sekutunya Ngo Diem Dihn di Vietnam hingga rencana pembunuhan Fidel Castro, Sukarno dan Chou En Lai yang gagal. Bahkan politik Amerika dalam sebuah penyelidikan komisi intelijen senat tahun 1975 dibawah Senator Frank Church mengabsahkan tindakan pembunuhan terhadap presiden Patrice Emery Lumumba (Kongo), Rafael trujillo (Rep. Dominika), Rene Scheneider (Chile).
Kultur perang dan kekerasan yang sudah dibentuk hampir satu abad tersebut tidak mungkin terhindar dari catatan sejarah dunia. Tidak itu saja, negeri-negeri bentukan Amerika paska kudeta yang didukung oleh Washington juga mewariskan tradisi kekerasan yang sama buruknya dengan syahwat perang pemimpin Amerika sejak Truman, Lindon B Johson, Nixon Hingga ayah dan anak Bush.
Pol pot yang didukung Amerika menjadi jagal jutaan nyawa rakyat dinegerinya. Orde Baru yang didukung penuh Amerika mengawali dan mengakhiri kekuasaanya dengan jutaan nyawa rakyat tak berdosa, Pinochet, wakil Angkatan bersenjata Chile yang dijadikan Amerika sebagai presiden paska kudeta terhadap Allende bahkan harus dikejar dan diseret untuk mempertanggungjawabkan sedikitnya 35000 nyawa yang dihilangkan.
Segala cara ditempuh Amerika untuk menyalurkan hasrat syahwat perangnya. Dulu jargon free world dan demokrasi membantai jutaan kelompok kiri diseluruh dunia termasuk sedikitnya satu juta orang di Indonesia, kini demokrasi dan anti terorisme tidak hanya menjadikan Islam sebagai musuh namun juga menjebak berbagai negara dalam kekerasan yang tiada berujung seperti yang sedang berlangsung di Irak, Afganistan, Pakistan, Srilangka, India dan lain sebagainya.
Selain kepentingan, perang dan tindakan biadab juga berakar dari cara pandang dan ideologi. Tidak hanya Amerika dengan cara pandang free worldnya, dulu, Hitler juga melakukan kekerasan karena tidak suka dengan bangsa Yahudi. Yahudi dizaman klasik suka melakukan kekerasan dengan membunuh para nabi. Kini sejak 1948, bangsa terbuang tersebut menjajah Palestina, mengklaim setiap jengkal tanah dan air bangsa palestina.
Tidak diragukan lagi,bahwa perpaduan karakter dan cara terorisme negara (State terrorism) yang dilakukan Amerika kini telah diadopsi dengan lengkap oleh Israel. Amerika ketika menjatuhkan bom atom dan cluster, napalm diperang vietnam yang tidak pernah menang itu juga tidak pernah peduli dengan anak-anak, wanita, kelompok non kombatan dan tempat-tempat publik. Begitu juga ketika Bom ‘Fatman’ meluluhlantakan kota Hiroshima yang menyebabkan sedikitnya 400.000 orang tewas dan jutaan lainnya terinfeksi uranium, tidak ada sedikitpun tindakan untuk merehebalitasi baik fisik maupun psikis dari pemerintah yang selalu mengatasnamakan demokrasi sebagai pelampiasan syahwat perangnya.
Dengan fakta historis ini, wajar saja orang selalu melihat kekejaman Israel sambil menunjuk keterlibatan Amerika dan virus perangnya. Keberanian Israel untuk biadab tidak lepas dari dukungan penuh Amerika, mirip seperti dukungan Amerika kepada Belanda ketika membom kota-kota Indonesia ditahun 1948-1949 dengan menggunakan pesawat dan amunisi bertanda US.
Dulu Indonesia punya Sukarno yang selalu menjadi pengganggu ambisi Amerika. Gara-gara Sukarno penguasaan Amerika atas Asia, Eropa dan Pasifik terputus persis diperbatasan Filipina dan selat Timor Australia. Setelah kudeta dan boneka pesanannya menjadi presiden, Indonesia bukan hanya seperti yang Kennedy katakan menjadi Hadiah terindah Asia Tenggara bagi Amerika, tapi juga terjajah dan tereksploitasi sumber dan cadangan hasil buminya.
Kini, sedikit keberanian Indonesia era Sukarno muncul di Venezuela. Dengan sekutu Bolivia dan Brazil, negara-negara tersebut diharapkan mampu menjadi penekan bagi syahwat perang Amerika dan sekutunya. Lunatic Amerika dan Israel harus diakhiri, Zionicide (Zionis Genocide) yang jelas didukung Amerika yang selalu terangsang dengan segala bentuk perang hanya cocok untuk kaum the beast. Bagi Amerika, Israel dan sekutunya, perang kini bukan hanya wujud penegasan atas dominasi tapi juga merupakan bisnis baru yang menjanjikan yang menghasilkan berbagai efek domino keuntungan bagi keberlangsungan kepentingan ekonomi politik mereka tanpa harus memiliki cadangan minyak, gas dan sumber energi yang tak pernah habis.

Free Palestine, Bring US and Israel to International Court