[Ahmad Hambali Site]

Begitu mereka ada, dunia menjadi tidak sederhana. Setiap kenikmatan menjadi hambar tanpa keikutsertaan mereka. Bagiku, kenikmatan dunia hanya ada, jika mereka juga menikmatinya. Inilah dunia kami, Dunia, dimana tangis, tawa dan bahagia berjalan beriringan

Catatan Pilpres 2009: Antara Janji, Cela dan Kepastian July 9, 2009

Filed under: 1,Catatan — ahmadineia @ 9:36 am
Tags:

Pilpres 2009 telah berlalu, hasilnya, SBY-Boediono dinobatkan sebagai presiden versi quick count. “Kemenangan” ini seakan melengkapi kemenangan Partai Demokrat dalam Pileg 2009 lalu. Namun, sebagai sebuah proses yang menentukan dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, menang atau kalah seharusnya tidak menjadi penting. Tidak saja karena menang atau kalah hanyalah suatu keniscayaan hidup yang paradoksal tapi juga karena kemenangan atau kekalahan dalam sebuah pemilu telah menjadi salah satu elemen penting dalam menyelesaikan perbedaan secara damai dan beradab menuju cita-cita nasional yang lebih luas.

Walaupun masih banyak kekurangan yang harus dibenahi, baik dalam proses, prosedur, capaian, sikap dan prilaku para peserta pilpres 2009, dari hari kehari tidak diragukan, pemilu presiden langsung yang kedua ini telah semakin memperlihatkan hasil yang positif atas berlangsungnya pendidikan politik bagi rakyat. Di masa datang, tentunya semua kekurangan tersebut harus semakin menghilang.

Catatan ini tidak ditujukan untuk menganalisis secara mendalam apa yang terjadi dalam Pilpres 2009, coretan ini hanya bermaksud menegaskan betapa pentingnya membangun cita-cita dalam kerangka yang lebih elegan, hormat-menghormati dan sportif.

Mengapa yang demikian cukup penting, semua tidak lain karena semua orang siap untuk menang, bahagia dan dipuja tapi jelas perlu waktu untuk menerima kalah, menderita dan terhina. Oleh karena itu, akan semakin signifikan untuk memahami makna dibalik tujuan bangsa yang lebih besar sebagaimana semua capres/cawapres selalu menjualnya kepada publik pada setiap sesi kampanye.

Ketika hasil Pileg 2009 lalu mulai jelas kepermukaan, bisa jadi sedikit elit dan politisi yang menjadikannya sebagai pelajaran berharga dalam menghadapi Demokrat dan SBY-nya. Secara sederhana bisa digambarkan bahwa hanya ada dua partai yang mengalami kenaikan suara yaitu Partai Demokrat ddan PKS. Itu artinya terjadi penggembosan suara diseluruh partai lama, baik karena konflik internal maupun faktor lain.

Dengan berbagai faktor tersebut, suara partai Golkar di 2009 paling tidak bocor ke sejumlah kanal partai terutama ke partai Hanura dan Gerindra. Sedangkan PDIP, yang harus mewaspadai kejaran partai Golkar digembosi oleh PDP dan mungkin kehilangan suara dipartai lain. Dalam soal hilangnya suara, PKB dan PPP juga menjadi partai yang cukup menderita, konflik yang didera didua partai ini menyebabkan posisi perolehan suara mereka melorot ke papan tengah dan bawah, bahkan dua partai tersebut tidak lebih baik dari PAN yang karena banyaknya partai yang gembos jadi naik beberapa tingkat.

Terakhir adalah dua pendatang baru (tapi lama) politik Indonesia, yaitu Hanura dan Gerindra yang kedua-duanya digawangi oleh tokoh militer asal Golkar, Wiranto dan Prabowo.

Bagi Hanura posisi sembilan pada Pileg 2009 merupakan level yang pantas mengingat konsolidasi yang cukup lama namun tidak dibarengi oleh belanja iklan dan sosialisasi yang banyak. Berbeda dengan Hanura, Gerindra merupakan partai yang amat merugi terutama dikaitkan dengan belanja iklannya yang cukup fantastis, move-move dan konsolidasi isu yang ditata sedemikian rupa. Tidak hanya itu, pengemasan dan nilai atraktif yang termuat didalam berbagai iklannya, sempat membius berbagai kalangan sehingga tampaknya ‘cukup sukses’ untuk menyeruak dibenak banyak orang menjelang pemilu.

Tapi fakta yang terjadi ternyata berbeda dengan usaha Gerindra dan klan Djojohadikusumo. Iklan yang sempat memenuhi setiap layar kaca masyarakat tersebut hanya mampu mendahului Hanura di posisi delapan. Jelas ini merupakan sesuatu yang diluar perkiraan bukan hanya oleh pengurus partai ‘garuda’ tersebut tapi juga masyarakat lain. Inilah yang kurang lebih sama terjadi pada pilpres 2009, yang diproduk dengan gaya dan hasil yang hampir mirip.

Gerindra dan Prabowo sendiri menurut saya menjadi salah satu pelajaran penting dari sekian hikmah yang termuat dalam pemilu 2009 kita. Gerindra bukan saja menjadi partai yang berani mengirim nilai tawar tinggi kepada partai pemenang pemilu 1999, PDIP untuk memaksakan posisi presiden dalam pasangan koalisi, tapi juga amat dipengaruhi oleh karakter Prabowo yang banyak diceritakan orang sangat percaya diri termasuk dalam memukul lawan-lawan politiknya dalam berbagai kesempatan.

Dengan gayanya yang khas dan tampil menyerang tersebut, sedikit banyak telah menggugah rasa dan kesadaran masyarakat akan profil pemimpin yang selayaknya dimiliki bangsa ini. Lagi-lagi, saya menduga ini yang juga menjadi salah satu pertimbangan pemilih dalam Pilpres 2009. Dengan demikian, sisi baik dari sikap agresif cawapres ini adalah semakin terasahnya rasionalitas dan kehati-hatian masyarakat dalam pemimpin.

Jika Prabowo dan Megawati tetap tidak merubah gaya kampanyenya yang menyerang hingga beberapa kali iklannya ditolak stasiun TV, gelagat yang sama juga terjadi pada JK seiring dengan memanas dan retaknya koalisi SBY dan JK untuk bersanding kembali dalam Pilpres 2009.

Dikitari beberapa tokoh yang sempat memanas-manasi pencalonan JK sebagai presiden, lama kelamaan, gaya kampanye JK langsung menohon setiap kebijakan pemerintahan yang ia sendiri masih menjadi bagian didalamnya. Tidak hanya cukup dengan strike style yang antara lain tercermin pada semboyannya “Lebih Cepat Lebih Baik,” JK juga harus bersitegang dan perang saling klaim dengan SBY mengenai perannya dipemerintahan seperti yang terjadi pada kasus perdamaian Poso, Ambon dan Aceh.

Saking panasnya saling serang diantara keduanya, suatu kali, SBY pun mengeluh dengan menyebut bahwa dirinya sedang dikeroyok dari dua arah. Kejadian itu terus berlangsung dipanggung publik dan dicermati masyarakat babak demi babak tanpa terlewat.

Sementara hari H pencontrengan kian dekat, tak satupun tim sukses kedua calon mau sedikit menoleh kebelakang dan mencermati kurang berhasilnya Gerindra dan Prabowo.  Mereka bahkan berpikir bahwa dengan semakin menjatuhkan pemerintahan, mereka akan semakin banyak menuai simpati masyarakat.

Nyatanya, walaupun baru sebatas quick count, tindakan itu bukan hanya salah tapi juga blunder yang semakin menghilangkan simpati masyarakat. Faktor logistik memang penting, namun pilihan Indonesia hari ini ternyata semakin mengerucut pada personifikasi orang perorang. Tidak ada satu orangpun dapat mewakili pilihan baik materi, simbol-simbol maupun pengaruh-pengaruh lain. Bahkan, di Bantar gebang, tempat deklarasi Mega-Pro yang menurut salah satu stasiun TV, masyarakatnya konon dijanjikan sejumlah jaminan bantuan tetap tidak mampu mendongkrak popularitas Mega. Mega hanya menang di dua TPS di 11 TPS yang ada. JK pun begitu, walaupun konon ia didukung habaib Jakarta, Kiai Cirebon dan Jawa Timur, Peta Jawa ditunjukan membiru.

Menarik pelajaran dari ini semua, kembali teringat dengan budaya bangsa kita yang memang khas timur, yang ramah, sopan santun dan beradab. Di Indonesia, orang merasa wajib mendukung suatu pihak yang terus menerus dizalimi seperti juga pernah terjadi pada Mega ketika dia dizalimi Suharto dan Orde Baru.  Dengan demikian, SBY sesungguhnya telah menjadi pemenang persis ketika lawan-lawannya telah memulai lontaran perang hujat dan caci. Bahkan dalam beberapa hal ia mencoba mengolahnya menjadi sebuah counter strike mematikan.

Pemilu 2009 bisa disebut sebagai pertarungan antara janji dan kepastian, berbagai aspek domestik, regional dan internasional kemudian mulai menguji sebagian pemilih kita. Semua itu diperkaya oleh cita-cita perbaikan yang harus dilandaskan oleh -setidaknya- sebuah kepastian dan kemudahan adaptasi masyarakat terhadap pola lahirnya kebijakan-kebijakan pemerintah. Terlalu gambling, bagi rakyat untuk memulai dari nol dan perlunya mencari pemimpin yang tidak terlalu banyak berhutang pada rakyat juga menjadi ukuran penting pemilu kali ini.

Dengan berbagai pertimbangan tersebut, masih bisa dipahami bila hitung cepat berbagai lembaga survei menunjuk bahwa rakyat masih ingin memastikan suatu keadaan yang mampu dijadikan modal sebagai perubahan yang lebih baik ketimbang segala sesuatunya harus dimulai dari nol. Ini belum termasuk berbagai kalkulasi dan matematika politik yang juga menguntungkan Yudhoyono.

Dengan ‘kemenangannya’, banyak orang berharap, SBY benar-benar memanfaatkan amanah rakyat untuk semakin memperbaiki kinerjanya dengan mengurangi privatisasi aset negara, melepaskan jerat kapitalisme internasional sesegara mungkin, mendukung penuh program pro rakyat, menolak impunitas dan semakin mensejahterakan masyarakat dengan lebih cepat, lebih tepat dan lebih baik.

Selamat memiliki presiden baru, semoga bangsa ini terus bergerak kearah yang semakin baik.

 

Apa Neoliberalisme Itu? Definisi Singkat Bagi Aktivis June 15, 2009

Filed under: Catatan — ahmadineia @ 8:54 am
Tags:
Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia

“Neo-liberalisme” adalah seperangkat kebijakan ekonomi yang meluas sejak sekitar 25 tahun terakhir ini. Walaupun kata tersebut jarang didengar di Amerika Serikat, Anda dapat melihat efek neoliberalisme secara jelas di sini dengan yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.

“Liberalisme” dapat mengacu pada ide-ide politik, ekonomi, atau bahkan relijius. Di AS, liberalisme politik merupakan strategi untuk menghindari konflik sosial. Ia dipresentasikan kepada rakyat miskin dan pekerja sebagai sesuatu yang progresif dibandingkan konservatif atau sayap Kanan. Liberalisme ekonomi berbeda. Politikus konservatif yang mengatakan bahwa mereka membenci kaum “liberal” — artinya dalam hal politik — tidak memiliki masalah dengan liberalisme ekonomi, termasuk neoliberalisme.

“Neo” berarti kita membicarakan jenis baru liberalisme. Jadi apa jenis lamanya? Pemikiran ekonomi liberal menjadi terkenal di Eropa ketika Adam Smith, seorang pakar ekonomi Skotlandia, menerbitkan buku pada 1776 berjudul THE WEALTH OF NATIONS. Ia dan beberapa lainnya mengadvokasikan penghapusan intervensi pemerintah dalam masalah perekonomian. Tidak ada pembatasan dalam manufaktur, tidak ada sekat-sekat perdagangan, tidak ada tarif, katanya; perdagangan bebas adalah cara terbaik bagi perekonomian suatu bangsa untuk berkembang. Ide-ide tersebut “liberal” dalam arti tidak ada kontrol. Penerapan individualisme ini mendorong usaha-usaha “bebas”, kompetisi “bebas” — yang kemudian artinya menjadi bebas bagi kaum kapitalis untuk mencetak keuntungan sebesar yang diinginkannya.

Liberalisme ekonomi berlangsung di Amerika Serikat sepanjang 1800an dan awal 1900an. Kemudian Depresi Besar tahun 1930an membuat seorang pakar ekonomi bernama John Maynard Keynes merumuskan sebuah teori yang menyangkal liberalisme sebagai kebijakan terbaik bagi kaum kapitalis. Ia berkata, pada intinya, bahwa kesempatan kerja penuh (full employment) dibutuhkan agar kapitalisme tumbuh dan itu hanya dapat dicapai bila pemerintah dan bank sentral melakukan intervensi untuk meningkatkan kesempatan kerja. Ide-ide ini banyak mempengaruhi program New Deal Presiden Roosevelt — yang sempat memperbaiki kehidupan banyak orang. Keyakinan bahwa pemerintah harus menomorsatukan kepentingan umum diterima secara meluas.

Tapi krisis kapitalis selama 25 tahun terakhir, dengan penyusutan tingkat profitnya, menginspirasikan para elit korporasi untuk menghidupkan kembali liberalisme. Inilah yang menjadikannya “neo” atau baru. Kini, dengan globalisasi ekonomi kapitalis yang pesat, kita menyaksikan neo-liberalisme dalam skala global.

Definisi yang berkesan tentang proses ini datang dari Subcomandante Marcos di Encuentro Intercontinental por la Humanidad y contra el Neo-liberalismo (Pertemuan Antar-Benua untuk Kemanusiaan dan Melawan Neo-liberalisme) pada Agustus 1996 di Chiapas ketika ia mengatakan: “apa yang ditawarkan kaum Kanan adalah mengubah dunia menjadi sebuah mal besar di mana mereka dapat membeli kaum Indian di sini, perempuan di sana…” dan ia dapat juga menambahkan, anak-anak, imigran, pekerja atau bahkan seluruh negeri seperti Meksiko.”

Pokok-pokok pemikiran neo-liberalisme mengandung:

1. KEKUASAAN PASAR. Membebaskan usaha “bebas” atau usaha swasta dari ikatan apa pun yang diterapkan oleh pemerintah (negara) tak peduli seberapa besar kerusakan sosial yang diakibatkannya. Keterbukaan yang lebih besar bagi perdagangan internasional dan investasi, seperti NAFTA. Menurunkan upah dengan cara melucuti buruh dari serikat buruhnya dan menghapuskan hak-hak buruh yang telah dimenangkan dalam perjuangan bertahun-tahun di masa lalu. Tidak ada lagi kontrol harga. Secara keseluruhan, kebebasan total bagi pergerakan kapital, barang dan jasa. Untuk meyakinkan kita bahwa semua ini baik untuk kita, mereka mengatakan bahwa “pasar yang tak diregulasi adalah cara terbaik meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang akhirnya akan menguntungkan semua orang.” Itu seperti ekonomi “sisi persediaan” (supply-side)dan “tetesan ke bawah” (trickle-down) yang dijalankan Reagan — tapi kekayaannya sedemikian rupa tidak banyak menetes.

2. MEMANGKAS PEMBELANJAAN PUBLIK UNTUK LAYANAN SOSIAL seperti pendidikan dan layanan kesehatan. MENGURANGI JARINGAN-PENGAMANAN BAGI KAUM MISKIN, dan bahkan biaya perawatan jalanan, jembatan, persediaan air — lagi-lagi atas nama mengurangi peran pemerintah. Tentunya, mereka tidak menentang subsidi dan keuntungan pajak bagi bisnis besar.

3. DEREGULASI. Mengurangi regulasi pemerintah terhadap segala hal yang dapat menekan profit, termasuk perlindungan lingkungan hidup dan keamanan tempat kerja.

4. PRIVATISASI. Menjual perusahaan-perusahaan, barang-barang, dan jasa milik negara kepada investor swasta. Ini termasuk bank, industri kunci, perkereta-apian, jalan tol, listrik, sekolah, rumah sakit dan bahkan air bersih. Walau biasanya dilakukan atas nama efisiensi yang lebih besar, yang sering dibutuhkan, privatisasi terutama berdampak pada pengonsentrasian kekayaan kepada pihak yang jumlahnya semakin sedikit dan menjadikan khalayak umum harus membayar lebih untuk kebutuhannya.

5. MENGHAPUS KONSEP “BARANG PUBLIK” atau “KOMUNITAS” dan menggantikannya dengan “tanggung-jawab individu.” Menekan rakyat yang termiskin dalam masyarakat untuk mencari solusi sendiri terhadap minimnya layanan kesehatan, pendidikan dan keamanan sosial mereka — kemudian menyalahkan mereka, bila gagal, karena “malas.”

Di penjuru dunia, neo-liberalisme didesakkan oleh institusi-institusi finansial besar seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia (World Bank) dan Bank Pembangunan Inter-Amerika. Ia merajalela di penjuru Amerika Latin. Contoh pertama pelaksanaan neoliberalisme secara terang-terangan terdapat di Chile (berkat pakar ekonomi Universitas Chicago, Milton Friedman), setelah kudeta dukungan-CIA terhadap rejim Allende yang dipilih rakyat pada 1973. Negeri-negeri lainnya menyusul, dengan sebagian dampak terburuknya di Meksiko, di mana upah menurun 40-50% dalam tahun pertama NAFTA sementara biaya hidup naik 80%. Lebih dari 20.000 bisnis kecil dan sedang menderita kebangkrutan dan lebih dari 1000 perusahaan milik negara diprivatisasi di Meksiko. Sebagaimana dikatakan oleh seorang akademisi “Neoliberalisme berarti neo-kolonisasi Amerika Latin.”

Di Amerika Serikat neo-liberalisme menghancurkan program-program kesejahteraan; menyerang hak-hak buruh (termasuk semua pekerja migran); dan memangkas program-program sosial. “Kontrak” Partai Republikan terhadap Amerika adalah murni neo-liberalisme. Para pendukungnya bekerja keras menolak perlindungan terhadap anak-anak, pemuda, perempuan, planet itu sendiri — dan mencoba menipu kita agar menerimanya dengan mengatakan bahwa ini akan “menyingkirkan beban pemerintah dari pundak saya.” Pihak yang diuntungkan oleh neo-liberalisme hanyalah minoritas rakyat dunia. Bagi mayoritas besarnya ia membawa lebih banyak penderitaan daripada sebelumnya: menderita tanpa capaian kecil yang susah payah dimenangkan dalam 60 tahun terakhir, penderitaan tiada henti.

————-

Elizabeth Martinez telah lama dikenal sebagai aktivis hak-hak sipil dan penulis beberapa buku termasuk “500 Years of Chicano History in Photographs.”

Arnoldo Garcia adalah anggota Comite Emiliano Zapata yang bermarkas di Oakland dan berafiliasi dengan Komisi Nasional untuk Demokrasi di Meksiko.

Kedua penulis adalah anggota Jaringan Nasional untuk Hak-hak Imigran dan Pengungsi; mereka juga menghadiri Pertemuan Antar-Benua untuk Kemanusian dan Melawan Neoliberalisme, yang digelar 27 Juli – 3 Agustus 1996 di La Realidad, Chiapas

———————————————————————————————————
Diambil dari CorpWatch
Diterjemahkan oleh NEFOS.org

http://nefos.org/?q=node/68

 

3 Tahun Korban Lumpur Lapindo: Watak Neoliberalisme dan Politisasi Korban May 29, 2009

Filed under: Catatan — ahmadineia @ 9:25 am
Tags: , ,
Oleh ahmadineia – 29 Mei 2009
Dimanapun didunia, tak seorangpun ingin menjadi korban. Apakah karena kelalaian, kealpaan, suratan nasib apalagi menjadi korban karena tindakan orang lain. Begitu rentan dan tidak mengenakannya berdiri diposisi korban, maka sebagai manusia, orang lain yang tidak menjadi korban diharapkan menunjukan rasa empati dan simpati guna membantu dan berbuat semampunya untuk meringankan penderitaan para korban. Sedangkan negara, jelas tidak hanya harus bertindak tuntas menyelesaikan keseluruhan persoalan yang menyangkut korban tapi juga mengambil tindakan yang patut dan legal terhadap penyebab peristiwa yang menimbulkan korban.

Dalam hubungannya dengan negara, para korban sangat berhak untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah agar dapat menangani persoalan dan nasib korban dengan cepat, tepat dan patut. Hak para korban otomatis menjadi kewajiban dan keharusan negara untuk menjalankannya. Wajar bila Komnas HAM dengan mudah mengatakan bahwa tindakan negara yang yang kurang serius dan peduli terhadap nasib korban jelas telah dianggap sebagai pelanggaran HAM baik langsung (commission) maupun pembiaran/pengabaian (ommission).

Dalam sejarah panjang penindasan di negeri ini, Orde Baru lagi-lagi menjadi rezim yang mengambil peran sentral dalam melahirkan korban-korban. Diawali oleh pembasmian kelompok kiri dan pengikut Soekarno, Orde Baru memainkan rangkaian kekerasan orkestratik yang menimbulkan jutaan korban. Para korban muncul silih berganti hanya karena berbeda, kritis, menolak tunduk dan dianggap tidak bekerjasama dengan pemerintahan Suharto. Peran negara Orde Baru begitu despotik, jargon stabilitas dan kewajiban warga untuk melayani dan mengabdikan sebesar-besarnya untuk negara menjadi kata kunci. Diluar itu, warga distigmatisasi sebagai kaum berbahaya, komunis, musuh negara, tidak nasionalis yang layak diperlakukan lebih rendah dari binatang sekalipun.

Ketika keniscayaan hadir dengan step side nya Suharto dari kekuasaan Mei 1998, negeri ini tetap berlangsung dengan tanpa korban. Para politisi dan tentara status quo yang tersinggung dan tidak terima dengan adanya limit kekuasaan, mengobarkan kerusuhan dan mendorong kekerasan masal yang memanggang nyawa ribuan warga. Kekerasan bahkan terus disebarkan di Aceh, Ambon, Papua, Poso, Banyuwangi hingga keseluruh penjuru pelosok negeri sebagai peringatan dan paksaan agar perubahan dianggap nista dan racun bagi kehidupan masyarakat. Catatan-catatan korban terus menggelembung sebagai angka yang tak bermakna.

Ditengah realitas tersebut yang terus diperburuk oleh munculnya berbagai penyakit warisan Orde Baru yang mengkronis di era sesudahnya seperti korupsi, kekerasan, pornografi dan semacamnya, negara tidak juga berprilaku benar untuk memperhatikan nasib korban. Tidak hanya gagal mempertanggungjawabkan kasus-kasus kekerasan masa lalu dihadapan ibu-ibu renta dan keluarga korban yang tak kenal lelah menuntut, negara terus menerus dengan sengaja atau tidak memproduksi sebuah kondisi yang menempatkan masyarakat sebagai kelompok yang paling berpotensi sebagai korban dengan posisi yang selalu tidak menguntungkan. Kasus yang amat mirip dengan ini adalah Kasus Lumpur Lapindo yang tepat tiga tahun penderitaan para korbannya, belum juga tercapai titik tuntas yang signifikan.

Bukan hanya karena ketidakcakapan negara, kekurangseriusan birokrasi, banyaknya kepentingan serta penyimpangan yang mungkin terjadi dari pusat hingga daerah tapi juga konfigurasi pemerintahan saat ini yang memberi peluang masuknya pebisnis dalam birokrasi membuat negara tersandera segelintir elit dan menyebabkan berlarut-larutnya penyelesaian kasus ini. Padahal apapun bentuk dan komposisinya, negara sebagai organisasi wajib memenuhi hak warga sebagai anggotanya. Karena untuk apa berorganisasi bila jangankan mendapat keuntungan, jaminan hak sebagai anggotapun tidak dipenuhi. Dengan kausalitas tersebut, korban secara ekstrem berhak menyatakan pembangkangan terhadap negara karena nasibnya tidak diperhatikan.

Dalam kerangka yang lain, membiarkan nasib warga sebagai korban terkatung-katung lebih mendekati ciri dari pemerintah yang menganut neoliberalisme dimana semua urusan diserahkan pada pasar dan mengurangi peran negara sehingga memunculkan terbelengkalainya pemenuhan hak warga oleh negara. Melalui mekanisme pasar tersebut, negara tidak hanya menyediakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi warga yang secara pasar dapat dibeli namun negara juga memproduk kemiskinan, kebodohan dan penderitaan sebagai wujud dari kekalahan dan ketidakberdayaan daya beli warga dari ketatnya kompetisi pasar.

Ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan yang terbaik bagi warga juga diperparah oleh prilaku elit politik yang bahkan mampu menari dalam rangkaian penderitaan orang lain. Pola dan kebiasaan elit politik untuk memanfaatkan rakyat dan mekanisme ritualitas demokrasi (baca pemilu) identik dengan tindakan tahunan elit terhadap para korban dan rakyat kebanyakan yang baru bisa diperhatikan bila dianggap dapat mendatangkan keuntungan bagi tujuan politik mereka. Walaupun demikian, hal ini ternyata juga tidak sepenuhnya terjadi pada kasus dan korban lumpur lapindo.

Saking terlalu besar bahayanya karena melibatkan elit politik dan bisnis di pemerintahan ditambah tidak dimilikinya kompensasi politik yang memadai bagi elit dan kelompok politik antara lain karena jumlah korban yang dianggap tidak signifikan bagi suara pemilu, kasus lumpur lapindo dan para korban tidak menjadi target kampanye partai-partai, capres dan cawapres untuk dicari solusinya.

Jeratan dari segala arah yang dialami korban dalam kasus ini, benar-benar membutuhkan pemecahan yang serius. Betapa tidak? hampir seluruh dimensi kehidupan kenegaraan telah diengineer sedemikian rupa hingga membekukan jalan keluar kasus ini. Pada jalan penyelesaian hukum, jegalan mulai terlihat pada ruang-ruang pengadilan. Konspirasi hukum yang memenangkan Lapindo dan menunda proses hukum pertanggungjawaban kasus ini menjelaskan fakta tersebut. Pada pembicaraan politik di level parlemen, titik penyelesaian juga tetap gelap dan tersabotase. Upaya sebagian kecil anggota parlemen yang mencoba membuka jalan penyelesaian tidak sebanding dengan kelompok politik yang tidak mengingkannya. Akibatnya, arah penyelesaian politik menemui jalan buntu.

Diluar berbagai peluang penyelesaian yang ada, konspirasi media dalam menggiring kasus dan nasib para korban terus berjalan beriringan. Setidaknya terdapat tiga istilah berbeda untuk meringkas komplikasi penderitaan dan kasus ini dengan istilah kasus lumpur lapindo, lumpur porong dan lumpur sidoarjo. Dengan istilah-istilah ini sesungguhnya terlihat tingkat independensi media dan relasi yang terkait antara jaringan bisnis serta pesan politik yang ingin dicapai.

Dengan serbuan dari berbagai arah tersebut, kasus lumpur lapindo membutuhkan banyak keajaiban untuk bisa diselesaikan bisa berupa pergantian personal, watak kepemimpinan, sistem kenegaraan, keberanian yang sangat terorganisir dalam melawan kejahatan yang mengakar atau berbagai insiden-insiden politik yang kini sedang merebak dan memanas menjelang pilpres 2009. Walaupun tidak banyak, namun pada sisi lain korban terkadang mendapat keuntungan dari pertikaian politik sempit para elit. Hal tersebut setidaknya terlihat dari penyebutan istilah media salah satu TV swasta yang dahulu selalu menyebut lumpur porong atau lumpur sidoarji kini mulai membahasakan lumpur lapindo untuk kasus yang merendam sebagian area Sidorajo tersebut.

Dalam pandangan saya, hal tersebut tidak terlepas dari panasnya kampanye pilpres 2009 yang membelah partai Golkar pada dua pasang capres-cawapres berbeda. Sengitnya persaingan ini yang terus bermuara pada saling serang ternyata juga disampaikan secara halus pada media yang mereka miliki. Fakta ini cukup sedikit ‘menguntungkan’ korban, tapi jelas belum membantu apa-apa bagi kelanjutan nasib para korban.

Pemerintah yang akan datang memang belum tentu lebih baik dari yang saat ini berlangsung. Namun sebagai bagian dari kesungguhan dan komitmen yang utuh dan serius, kasus lumpur lapindo selain kasus Munir dan berbagai kasus yang melibatkan para petinggi sipil dan militer merupakan ujian sesungguhnya dari capres-cawapres untuk bisa dituntaskan. Tanpa keberhasilan dalam menyelesaikan persoalan ini, maka bisa dipastikan, bahwa sindrom negara gagal (state failure), tuduhan watak neoliberalisme, politisasi elit terhadap para korban tidak hanya tertuju pada salah satu pasang capres-cawapres saja, tapi juga dialamatkan bagi semua kontestan pilpres 2009.