[Ahmad Hambali Site]

Begitu mereka ada, dunia menjadi tidak sederhana. Setiap kenikmatan menjadi hambar tanpa keikutsertaan mereka. Bagiku, kenikmatan dunia hanya ada, jika mereka juga menikmatinya. Inilah dunia kami, Dunia, dimana tangis, tawa dan bahagia berjalan beriringan

3 Tahun Korban Lumpur Lapindo: Watak Neoliberalisme dan Politisasi Korban May 29, 2009

Filed under: Catatan — ahmadineia @ 9:25 am
Tags: , ,
Oleh ahmadineia – 29 Mei 2009
Dimanapun didunia, tak seorangpun ingin menjadi korban. Apakah karena kelalaian, kealpaan, suratan nasib apalagi menjadi korban karena tindakan orang lain. Begitu rentan dan tidak mengenakannya berdiri diposisi korban, maka sebagai manusia, orang lain yang tidak menjadi korban diharapkan menunjukan rasa empati dan simpati guna membantu dan berbuat semampunya untuk meringankan penderitaan para korban. Sedangkan negara, jelas tidak hanya harus bertindak tuntas menyelesaikan keseluruhan persoalan yang menyangkut korban tapi juga mengambil tindakan yang patut dan legal terhadap penyebab peristiwa yang menimbulkan korban.

Dalam hubungannya dengan negara, para korban sangat berhak untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah agar dapat menangani persoalan dan nasib korban dengan cepat, tepat dan patut. Hak para korban otomatis menjadi kewajiban dan keharusan negara untuk menjalankannya. Wajar bila Komnas HAM dengan mudah mengatakan bahwa tindakan negara yang yang kurang serius dan peduli terhadap nasib korban jelas telah dianggap sebagai pelanggaran HAM baik langsung (commission) maupun pembiaran/pengabaian (ommission).

Dalam sejarah panjang penindasan di negeri ini, Orde Baru lagi-lagi menjadi rezim yang mengambil peran sentral dalam melahirkan korban-korban. Diawali oleh pembasmian kelompok kiri dan pengikut Soekarno, Orde Baru memainkan rangkaian kekerasan orkestratik yang menimbulkan jutaan korban. Para korban muncul silih berganti hanya karena berbeda, kritis, menolak tunduk dan dianggap tidak bekerjasama dengan pemerintahan Suharto. Peran negara Orde Baru begitu despotik, jargon stabilitas dan kewajiban warga untuk melayani dan mengabdikan sebesar-besarnya untuk negara menjadi kata kunci. Diluar itu, warga distigmatisasi sebagai kaum berbahaya, komunis, musuh negara, tidak nasionalis yang layak diperlakukan lebih rendah dari binatang sekalipun.

Ketika keniscayaan hadir dengan step side nya Suharto dari kekuasaan Mei 1998, negeri ini tetap berlangsung dengan tanpa korban. Para politisi dan tentara status quo yang tersinggung dan tidak terima dengan adanya limit kekuasaan, mengobarkan kerusuhan dan mendorong kekerasan masal yang memanggang nyawa ribuan warga. Kekerasan bahkan terus disebarkan di Aceh, Ambon, Papua, Poso, Banyuwangi hingga keseluruh penjuru pelosok negeri sebagai peringatan dan paksaan agar perubahan dianggap nista dan racun bagi kehidupan masyarakat. Catatan-catatan korban terus menggelembung sebagai angka yang tak bermakna.

Ditengah realitas tersebut yang terus diperburuk oleh munculnya berbagai penyakit warisan Orde Baru yang mengkronis di era sesudahnya seperti korupsi, kekerasan, pornografi dan semacamnya, negara tidak juga berprilaku benar untuk memperhatikan nasib korban. Tidak hanya gagal mempertanggungjawabkan kasus-kasus kekerasan masa lalu dihadapan ibu-ibu renta dan keluarga korban yang tak kenal lelah menuntut, negara terus menerus dengan sengaja atau tidak memproduksi sebuah kondisi yang menempatkan masyarakat sebagai kelompok yang paling berpotensi sebagai korban dengan posisi yang selalu tidak menguntungkan. Kasus yang amat mirip dengan ini adalah Kasus Lumpur Lapindo yang tepat tiga tahun penderitaan para korbannya, belum juga tercapai titik tuntas yang signifikan.

Bukan hanya karena ketidakcakapan negara, kekurangseriusan birokrasi, banyaknya kepentingan serta penyimpangan yang mungkin terjadi dari pusat hingga daerah tapi juga konfigurasi pemerintahan saat ini yang memberi peluang masuknya pebisnis dalam birokrasi membuat negara tersandera segelintir elit dan menyebabkan berlarut-larutnya penyelesaian kasus ini. Padahal apapun bentuk dan komposisinya, negara sebagai organisasi wajib memenuhi hak warga sebagai anggotanya. Karena untuk apa berorganisasi bila jangankan mendapat keuntungan, jaminan hak sebagai anggotapun tidak dipenuhi. Dengan kausalitas tersebut, korban secara ekstrem berhak menyatakan pembangkangan terhadap negara karena nasibnya tidak diperhatikan.

Dalam kerangka yang lain, membiarkan nasib warga sebagai korban terkatung-katung lebih mendekati ciri dari pemerintah yang menganut neoliberalisme dimana semua urusan diserahkan pada pasar dan mengurangi peran negara sehingga memunculkan terbelengkalainya pemenuhan hak warga oleh negara. Melalui mekanisme pasar tersebut, negara tidak hanya menyediakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi warga yang secara pasar dapat dibeli namun negara juga memproduk kemiskinan, kebodohan dan penderitaan sebagai wujud dari kekalahan dan ketidakberdayaan daya beli warga dari ketatnya kompetisi pasar.

Ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan yang terbaik bagi warga juga diperparah oleh prilaku elit politik yang bahkan mampu menari dalam rangkaian penderitaan orang lain. Pola dan kebiasaan elit politik untuk memanfaatkan rakyat dan mekanisme ritualitas demokrasi (baca pemilu) identik dengan tindakan tahunan elit terhadap para korban dan rakyat kebanyakan yang baru bisa diperhatikan bila dianggap dapat mendatangkan keuntungan bagi tujuan politik mereka. Walaupun demikian, hal ini ternyata juga tidak sepenuhnya terjadi pada kasus dan korban lumpur lapindo.

Saking terlalu besar bahayanya karena melibatkan elit politik dan bisnis di pemerintahan ditambah tidak dimilikinya kompensasi politik yang memadai bagi elit dan kelompok politik antara lain karena jumlah korban yang dianggap tidak signifikan bagi suara pemilu, kasus lumpur lapindo dan para korban tidak menjadi target kampanye partai-partai, capres dan cawapres untuk dicari solusinya.

Jeratan dari segala arah yang dialami korban dalam kasus ini, benar-benar membutuhkan pemecahan yang serius. Betapa tidak? hampir seluruh dimensi kehidupan kenegaraan telah diengineer sedemikian rupa hingga membekukan jalan keluar kasus ini. Pada jalan penyelesaian hukum, jegalan mulai terlihat pada ruang-ruang pengadilan. Konspirasi hukum yang memenangkan Lapindo dan menunda proses hukum pertanggungjawaban kasus ini menjelaskan fakta tersebut. Pada pembicaraan politik di level parlemen, titik penyelesaian juga tetap gelap dan tersabotase. Upaya sebagian kecil anggota parlemen yang mencoba membuka jalan penyelesaian tidak sebanding dengan kelompok politik yang tidak mengingkannya. Akibatnya, arah penyelesaian politik menemui jalan buntu.

Diluar berbagai peluang penyelesaian yang ada, konspirasi media dalam menggiring kasus dan nasib para korban terus berjalan beriringan. Setidaknya terdapat tiga istilah berbeda untuk meringkas komplikasi penderitaan dan kasus ini dengan istilah kasus lumpur lapindo, lumpur porong dan lumpur sidoarjo. Dengan istilah-istilah ini sesungguhnya terlihat tingkat independensi media dan relasi yang terkait antara jaringan bisnis serta pesan politik yang ingin dicapai.

Dengan serbuan dari berbagai arah tersebut, kasus lumpur lapindo membutuhkan banyak keajaiban untuk bisa diselesaikan bisa berupa pergantian personal, watak kepemimpinan, sistem kenegaraan, keberanian yang sangat terorganisir dalam melawan kejahatan yang mengakar atau berbagai insiden-insiden politik yang kini sedang merebak dan memanas menjelang pilpres 2009. Walaupun tidak banyak, namun pada sisi lain korban terkadang mendapat keuntungan dari pertikaian politik sempit para elit. Hal tersebut setidaknya terlihat dari penyebutan istilah media salah satu TV swasta yang dahulu selalu menyebut lumpur porong atau lumpur sidoarji kini mulai membahasakan lumpur lapindo untuk kasus yang merendam sebagian area Sidorajo tersebut.

Dalam pandangan saya, hal tersebut tidak terlepas dari panasnya kampanye pilpres 2009 yang membelah partai Golkar pada dua pasang capres-cawapres berbeda. Sengitnya persaingan ini yang terus bermuara pada saling serang ternyata juga disampaikan secara halus pada media yang mereka miliki. Fakta ini cukup sedikit ‘menguntungkan’ korban, tapi jelas belum membantu apa-apa bagi kelanjutan nasib para korban.

Pemerintah yang akan datang memang belum tentu lebih baik dari yang saat ini berlangsung. Namun sebagai bagian dari kesungguhan dan komitmen yang utuh dan serius, kasus lumpur lapindo selain kasus Munir dan berbagai kasus yang melibatkan para petinggi sipil dan militer merupakan ujian sesungguhnya dari capres-cawapres untuk bisa dituntaskan. Tanpa keberhasilan dalam menyelesaikan persoalan ini, maka bisa dipastikan, bahwa sindrom negara gagal (state failure), tuduhan watak neoliberalisme, politisasi elit terhadap para korban tidak hanya tertuju pada salah satu pasang capres-cawapres saja, tapi juga dialamatkan bagi semua kontestan pilpres 2009.