[Ahmad Hambali Site]

Begitu mereka ada, dunia menjadi tidak sederhana. Setiap kenikmatan menjadi hambar tanpa keikutsertaan mereka. Bagiku, kenikmatan dunia hanya ada, jika mereka juga menikmatinya. Inilah dunia kami, Dunia, dimana tangis, tawa dan bahagia berjalan beriringan

Mencari Presiden yang Anti Asing May 27, 2009

Filed under: 1 — ahmadineia @ 11:39 am
Tags: , , , , , ,
Oleh ahmadineia
Hiruk pikuk perpolitikan di tanah air semakin pasti bermuara menjadi saling klaim dan saling serang antar elit dan kelompok politik. Jargon kerakyatan, anti neoliberalisme dan slogan jualan lainnya mulai berseliweran dihadapan publik. Setelah gagal (seperti diakui oleh kalangan Gerindra sendiri) membius masyarakat Indonesia dengan iklan yang cukup komunikatif dan berbiaya besar, Gerindra bersama pasangannya PDIP mulai menggelontorkan kampanye yang berbau ‘kerakyatan’. Tidak hanya dengan pesan dan klaim yang dilempar ke publik, kata kerakyatan juga ditunjukan dengan propaganda tempat pendeklarasiannya yang mengambil tempat pembuangan sampah di pinggiran Jakarta.

Tidak hanya pasangan Megawati-Prabowo (Mega Pro) yang mengklaim jargon kerakyatan untuk jualannya dalam memenangkan kompetisi Pilpres 2009 mendatang, pasangan JK-Wiranto (JK-Win) juga membungkus slogan populis lain yang kurang lebih sama guna mensukseskan jalannya menuju istana. Intinya mereka menegaskan perlunya kemandirian, ketidaktergantungan dan kalau bisa seluruh kehidupan bernegara dijalankan dengan anti asing. Hal yang tidak disuarakan bahkan dituduhkan dilakukan oleh pasangan SBY-Budiono pada pemerintahan yang sedang berjalan.

Berbagai bentuk lontaran dan kampanye yang menggunakan tema anti asing oleh Mega-Pro dan JK-Win tentu saja bukan hanya ditujukan sebagai salah satu iklan produk kampanye mereka semata tapi juga dimaksudkan untuk menuding kinerja pemerintahan lawan politiknya yaitu SBY dan karakter kerja ekonomi Budiono yang disebut sebagai penganut neoliberal.

Anti asing dalam arti positif mungkin bisa disebut sebagai penegakan martabat dan kemandirian bangsa diseluruh dimensi kehidupan bernegara untuk menjadikan semua gerak pembangunan benar-benar murni dilakukan oleh, dari, ke dan untuk rakyat. Dengan pengertian ini, semua sumber daya, potensi dan kekayaan Indonesia hanya bisa dipergunakan dan diperuntukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Makna anti asing yang seperti ini memang telah lama hilang dari kultur pemerintahan Indonesia setidaknya sejak Suharto melancarkan ‘kudeta merangkak’ terhadap Soekarno 44 tahun yang lalu. Dengan demikian, hingga pemerintahan SBY sekalipun, jerat asing dalam pengelolaan negara masih belum terhindarkan.

Fenomena privatisasi BUMN dan aset negara lainnya menjadi salah satu ciri serius dari praktek ketergantungan dan tidak anti asing yang terus berlangusng pada pemerintahan-pemerintahan di Indonesia sejak Soekarno. Praktek ini jelas memberi dampak krusial bukan hanya pada sistematika dan pola pembangunan setiap pemerintahan yang harus terus menerus melanjutkan hutang dan pelaksanaan kontinyuitas pesanan paket-paket kebijakan lembaga keuangan internasional tapi juga menumbuhkan mentalitas elit dan birokrasi yang tidak mandiri dan bahkan koruptif. Dengan budaya yang tidak anti asing ini, Indonesia dimungkinkan diancam oleh setidaknya dua wabah yang berbahaya bagi tujuan kehidupan bangsa: ketergantungan eksternal (yang berpotensi berujung pada eksploitasi abadi) dan kerusakan internal (korupsi, rent seeker, bisnis politik dan sejenisnya).

Dahulu, ketika mahasiswa di era awal 1990-an, kami berkesimpulan bahwa terdapat hubungan yang erat antara presiden, militer dan kekuatan asing dengan sebutan makelar, centeng dan pemilik modal yang status makelar presiden bisa segera berubah menjadi real president bila ia (presiden) berani menolak ketergantungan asing dan menempatkan militer dalam kontrol sipil. Tentu saja hal tersebut tidaklah mudah, karena penempatan militer dibawah kontrol sipil saat inipun masih dihadapi oleh resistensi yang tidak kecil oleh perwira politisi (petinggi tentara yang berpolitik) antara lain dengan menghidupkan kembali fungsi-fungsi komando teritorial, intelijen, komponen cadangan dan sebagainya langsung atau tidak langsung.

Dalam beberapa fakta yang harus diuji kembali bisa disebutkan bahwa, keberadaan Free Port Amerika di tanah Papua merupakan pergulatan kompensasi panjang yang sempat tertahan di era Soekarno dan mulai terbuka di era orde baru Suharto ditandai dengan lahirnya UU PMA 1967. Tarik ulur penyerahan Papua dari Belanda yang ditentukan Washington ke ibu pertiwi oleh Soekarno diubah menjadi salah satu simbol kran awal eksploitasi asing di Indonesia. Tak heran hingga kini Freeport masih bercokol dan memiliki konsensi setengah abadi dikawasan gunung emas tersebut, setidaknya mungkin hingga hanya tersisa beberapa gram bulir emas.

Dengan bahaya yang seperti ini, mencari presiden yang anti asing agaknya semakin perlu dan mendesak untuk dilakukan, terlebih lagi awal Juli nanti rakyat Indonesia memiliki momentum yang tepat untuk memulai usaha tersebut. Namun demikian, sayangnya, hanya tiga kandidat dan berbagai tudingan-tudingan tak bertanggungjawab seputar klaim anti asing dan neolib yang kita punya untuk dicerna dan dipilih secara tepat. Lalu siapa dan bagaimana seharusnya mencari presiden yang anti asing bisa dimulai?

Sebagaimana bahasan terdahulu, saya tetap konsisten dengan pernyataan bahwa hingga saat ini, Indonesia belum pernah memiliki pemerintahan dan presiden yang anti asing sesuai makna yang telah disebutkan diawal. Keteguhan saya juga tak tergoyahkan meskipun salah seorang atau semua kandidat menghabiskan biaya milyaran untuk iklan kampanye dan setiap hari menyuarakan slogan anti asing serta tema kerakyatan dimedia masa. Bagi saya yang terpenting adalah rekam jejak dan narativisme sejarah yang saling terkait dengan ketiga pasang calon tersebut.

Dalam berbagai pengamatan, sosok JK Wiranto yang lebih identik dengan pebisnis dan perwira politik diduga masih sulit melepaskan diri dari ketergantungan asing. Berbagai tudingan yang ditujukan politisi Golkar karena tindakan mengawinkan antara jabatan dan bisnis yang dilakukan, merupakan salah satu ancaman internal besar bagi tujuan kemakmuran bangsa. Begitu juga dengan Wiranto yang merupakan back up utama Suharto ketika menjelang dilengserkan. Wiranto adalah salah satu dari dua jenderal yang secara tegas (walaupun hanya sikap dan lisan) berani melawan kehendak perubahan pada saat itu. Ciri status quo yang dimiliki Orde Baru jelas menjadi kondisi yang ia inginkan. Padahal Orde Baru tidak anti asing dan dekat sekali dengan kolaborasi asing.

Lalu bagaimana dengan Mega-Pro, pasangan yang ingin sekali diidentikan dengan personalisasi kerakyatan dan anti asing. Untuk Megawati, trade mark, partai wong cilik dan sebagian konstituen partai ini yang memang terdiri dari rakyat jelata membuat terdapatnya potensi kedekatan Mega dan PDIP dengan segala yang mengarah pada pelayanan wong cilik termasuk anti asing. Namun sayangnya, lain keinginan masyarakat bawah lain kebijakan diatas. Tindakan pemerintahan Megawati, ketika ia menjabat presiden tidak atau belum mencerminkan sosok yang anti asing ditandai dengan dilaksanakannya program-program privatisasi BUMN dan semacamnya. Dalam kasus yang lain bahkan Mega tidak berdaya ditelikung oleh Pangkostrad Ryamizard Ryacudu yang memaksa penetapan status darurat militer di Aceh. Tindakan ini jelas bukan rekam jejak yang menggembirakan bagi rasa aman dan damai masyarakat. Rekaman ini bahkan diteruskan dengan berkoalisinya PDIP yang ironisnya dihuni juga oleh banyak aktivis yang anti militerisme dengan Gerindra yang dipimpin oleh Letjen Prabowo yang bersama Wiranto disebut belum pernah mempertanggungjawabkan tindakannya secara patut pada sejumlah kasus pelanggaran HAM. Karuan saja, pasangan ini disindir aktivis HAM sebagai wong cilik dan wong culik.

Tidak selesai dengan itu, pemeriksaan harta kekayaan Prabowo yang amat fantastis (sekitar 1,6 triliun) secara tersirat patut ditelusuri. Walaupun telah disanggah dan disebut perlunya seorang pemimpin yang kaya untuk bisa menjadikan rakyatnya kaya, hal tersebut lagi-lagi masih sebatas slogan. Perjalanan kekayaan mantan menantu Suharto ini ditengah rangkaian keterpurukan masyarakat dengan sejumlah angka kemiskinan, gizi buruk, pengangguran dan buta hurup merupakan pertanyaan yang amat besar bagi komitmennya yang bisa tidak anti asing mengingat sejumlah pundi kekayaannya yang ia hasilkan ketika Orde Baru berkuasa berasal dari Yordania dan negara-negara bekas Uni Sovyet.

Walaupun tidak separah dua pasangan tadi, calon incumbent SBY dan mantan pembantunya Budiono juga bukan personal yang tegas terhadap asing. Karakter SBY yang banyak pertimbangan, hati-hati sehingga sering dituding lawan politiknya lambat dan peragu juga merupakan kelemahan lain dalam memutus mata rantai anti asing di Indonesia. Keberhasilannya dalam mengakhiri hubungan dengan IMF tetap saja tidak cukup menjadikan ia sebagai pemimpin yang anti asing, terlebih lagi terbit kebijakan pemerintahannya untuk menjajaki hutang baru. Karakter dan tindakan SBY terkesan tidak seperti pasangan lainnya yang tetap menjalankan bisnis ditengah sumpah jabatan. Ia juga diceritakan bukan jenderal yang suka pertumpahan darah. Tapi lagi-lagi strategi kehati-hatiannya harus dipadukan dengan komitmen keberanian untuk menerapkan Indonesia yang segera mandiri. Hal ini antara lain karena diera pemerintahannya, belum terlihat jejak yang signifikan dalam menolak asing secara tegas dan positif.

Jejak yang kurang tegas bahkan dituding pro asing justru datang dari pasangannya Budiono. Dibawah kendalinya beberapa kebijakan yang pro pasar disinyalir digulirkan pemerintah. Bila demikian, Budiono bukan hanya sulit menepis berbagai tudingan pro asing lawan-lawan politiknya, tapi juga rumit untuk mengawali sebuah program pembangunan yang relatif bebas dari pengaruh asing.

Diperlukan energi yang berlipat-lipat untuk menjalani sebuah pemerintahan yang kuat, mandiri dan bermartabat. Soekarno dengan bantuan lawan-lawan politiknya di Indonesia, bahkan harus dikudeta oleh Amerika karena menolak tunduk pada asing (Amerika). Cacian Amerika bahwa sikap netral Indonesia terhadap perang dingin adalah tindakan amoral direspon Soekarno dengan keberlanjutan komitmen yang anti asing. Dalam soal ini, semua presiden dan calon presiden termasuk putrinya, Megawati wajib berguru dan belajar mendalaminya -jika perlu- puluhan tahun pada sikap teguh anti asing Soekarno.

Jelas sudah, setelah Soekarno, Indonesia belum memiliki presiden, calon presiden dan calon wakil presiden yang anti asing. Sayangnya, sebagian besar pasangan-pasangan capres-cawapres pemilu 2009 ini ditengarai diuntungkan oleh keberlangsungan ketergantungan asing sejak lama. Mereka bukan hanya pernah hidup pada suatu era yang menguatkan elit dan merugikan masyarakat tapi juga pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem yang menindas dan pro asing.

Sekarang masyarakat telah mengawali learn by nature dengan tidak tergiur hanya dengan slogan, iklan, jargon dan tema manis bahkan menipu pada pemilu legislatif lalu. Alangkah baiknya hal tersebut digunakan kembali dalam mencermati, mengamati siap sesungguhnya presiden dan pemimpin yang berpotensi berani anti asing.