[Ahmad Hambali Site]

Begitu mereka ada, dunia menjadi tidak sederhana. Setiap kenikmatan menjadi hambar tanpa keikutsertaan mereka. Bagiku, kenikmatan dunia hanya ada, jika mereka juga menikmatinya. Inilah dunia kami, Dunia, dimana tangis, tawa dan bahagia berjalan beriringan

Supersemar dan Kudeta terhadap Soekarno December 1, 2008

Filed under: Catatan — ahmadineia @ 9:15 am
Tags: , , , , ,

Ditengah banyaknya kekurangan Soekarno sebagai pribadi dan presiden pertama Indonesia, agaknya kita harus tetap bangga terhadap sikapnya yang sejak 1945 telah memberi identitas Indonesia sebagai bangsa yang benar-benar sejajar dengan bangsa lain termasuk Amerika yang secara licik begitu menginginkan Indonesia baik secara politik dan ekonomi. Sebagai presiden yang terdapat dalam daftar pemimpin yang harus dilenyapkan bahkan dibunuh, Soekarno tidak hanya ditakuti lawan tapi juga disegani. Pidatonya didepan kongres Amerika dalam rangkaian perjalananannya diakui oleh politisi Amerika hanya kalah oleh pidato George Washington. Pidato Soekarno digedung parlemen itu bukan hanya mampu membuat suasana kantuk persidangan yang juga sering terjadi di parlemen Amerika hilang tapi juga berujung pada standing ovation pejabat-pejabat pemerintah Amerika.
Nilai mahal yang melekat dari Soekarno dihadapan bangsa manapun didunia kala itu salah satunya ternyata bersumber dari keberanian dan kemandiriannya untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang tidak hanya mampu membebaskan diri dari penjajah Belanda tapi juga untuk bersikap netral dalam jepitan perang antar blok yang dikobarkan Amerika dan Uni Sovyet. Sikap Soekarno ini ternyata tidak menular sepenuhnya pada politisi dalam negerinya terutama beberapa lawan politiknya. Namun begitu, karena karismanya yang amat kuat, para lawan politik Soekarno hanya berani melawannya secara diam-diam.
Kekuatan politiknya juga telah dimanfaatkan oleh semua elemen politik dalam negeri untuk menyeimbangkan tarik menarik politik yang bisa segera terjadi antara PKI, Angkatan Darat dan partai politik Islam. Potensi ketidakstabilan politik ini yang pada akhirnya juga dilirik oleh Amerika sebagai peluang menggoncang Indonesia dibawah Soekarno.
Menjelang tahun 1960, Amerika secara terang-terangan melatih, mendanai, dan mempersenjatai sebagian perwira Angkatan Darat diwilayah sumatera dan sulawesi yang bukan hanya tidak suka dengan kebijakan Soekarno, konflik politik dengan PKI tapi juga berbeda pendapat dengan segelintir elit Angkatan Darat di Jakarta. Namun, rencana ini hancur berantakan, karena dalam kacamata Amerika, dukungan kepada pemberontak hanya akan melemahkan kekuatan tentara (berupa perang antar perwira didikan amerika asal Jakarta, Sumatera dan Sulawesi) dan memperkuat posisi PKI karena melemahnya posisi politik tentara tersebut.
Hingga pemberontakan didua wilayah itu dapat dipadamkan, apa yang dikhawatirkan Amerika akhirnya terjadi. Dua perbedaan friksi tentara menjadi semakin tajam, PKI semakin kuat dan rakyat Indonesia semakin mengetahui keterlibatan Amerika untuk memecahbelah negerinya.
Seiring waktu berjalan, Amerika mulai sadar bahwa Soekarno tidaklah seperti Chiang Kai-Shek yang cenderung menjadi diktator di Taiwan, Diem yang terlalu one man show, para pemimpin Laos yang cenderung korup dan Syngman Rhee di Korea Selatan yang sangat tidak popular.
Masalah Soekarno jelas berbeda, oleh karena itu perlu upaya khusus untuk menanganinya secara hati-hati dan tepat.
Dengan posisi Soekarno yang seperti ini, masukan F.M. Dearborn Jr, asisten khusus presiden urusan operasi keamanan untuk mengkudeta Soekarno melalui prosedur pemilu jelas ditolak. Menurut pemerintah Amerika, mendorong pelaksanaan pemilu di Indonesia hanya akan menghasilkan PKI sebagai pemenang. PKI sendiri menjelang awal tahun 1960 telah merangsek masuk kejajaran tiga besar diwilayah nasional, Nomor dua di Jawa Tengah dan nomor satu di Jawa Timur dan Barat. Sejalan dengan kekhawatiran Amerika tersebut, kelompok anti Soekarno kemudian mendorong MPR untuk menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Kebijakan ini didorong tidak saja sebagai pengakuan kepada figur pemersatu dan penyeimbang yang terdapat dalam diri Soekarno tapi juga untuk memastikan kendali kekuasaan ditangan Soekarno sambil mencegah berkuasanya PKI yang semakin hari semakin naik pamornya termasuk melalui prosedur pemilu.
Namun demikian, kelompok anti komunis seperti yang dicatat Jhon Roosa yakin bahwa suatu saat Soekarno tidak akan bisa diharapkan lagi sebagai kekuatan penyeimbang tiga kaki politik Indonesia (Soekarno, Angkatan Darat dan PKI). Dengan kecenderungan tersebut, maka hanya ada satu kemungkinan, PKI atau Angkatan Darat yang menggantikan kekuasaan Soekarno.
Sementara hari demi hari politik Indonesia semakin panas, bukan hanya kelompok anti komunis dalam negeri yang merasa terbakar namun kesia-sian perang vietnam yang dilancarkan Amerika untuk memerangi komunis di daratan Asia terus menghantui para pembuat kebijakan luar negeri Amerika. Bagi mereka, mimpi buruk jatuhnya Cina ketangan komunis menjadi sejarah yang akan berulang bila mereka tidak segera melancarkan tindakan untuk menjatuhkan Soekarno yang merupakan kunci untuk menumpas komunis Indonesia.
Tidak terdapat tindakan yang signifikan bagi Amerika dan sekutunya untuk menyusun strategi baru menghadapi Indonesia hingga munculnya kebijakan Soekarno untuk berkonfrontasi dengan Malaysia. Selain melalui langkah diplomasi, Amerika juga mengaktifkan sekutunya di Selatan, Australia dan Selandia Baru untuk membantu Malaysia dalam menghadapi Indonesia. Serangan luar terhadap Indonesia terhadap kebijakan konfrontasi ini juga datang dari beberapa petinggi Angkatan Darat dengan mensabotase perang terhadap malaysia bukan hanya dengan tidak mengirimkan perbekalan perang apapun kepada pasukan yang berada digaris perbatasan Indonesia Malaysia tapi juga mengirim kontak rahasia kepada Malaysia dengan pesan tentara Indonesia tidak ingin berperang dengan malaysia. Bagi tentara melaksanakan dan mendukung kebijakan pemerintah untuk konfrontasi dengan Malaysia -lagi-lagi- hanya akan menguntungkan PKI. Segera dengan alasan tersebut Konflik pengaruh diantara kekuatan politik tersebut termasuk tentara dan sejumlah partai politik sesungguhnya telah menyuburkan penghianatan terhadap rasa kebangsaan dan nasionalisme mereka terhadap Indonesia. Karena tidak seharusnya, konflik politik seperti itu harus menyebabkan terjadinya sabotase dan pembangkangan terhadap kebijakan pemerintah Indonesia.
Bau sabotase yang kemudian tumbuh hanya karena PKI semakin kuat secara politik rupanya terendus juga oleh Seoakrno dan PKI sendiri. Bahkan PKI mendengar adanya pertemuan para petinggi Angkata Darat yang berupaya untuk menjatuhkan Soekarno sejak Januari 1965. Aroma kudeta itu semakin mengkristal ketika para petinggi AD yang bertemu tersebut bukan hanya para perwira yang anti soekarno tapi juga merupakan tentara yang disekolahkan Amerika dan merupakan sekutu penting para pejabat pemerintahan Amerika.
Berturut-turut kemudian, Amerika mengirim dubes spesialis kudeta marshall green yang juga sukses memberi jalan jatuhnya pemimpin Korea untuk mengatur segala sesuatunya di Indonesia. Green juga memberikan informasi bagi keputusan yang dihasilkan dalam Baguio meeting pertengahan tahun 1965.
Tak berapa lama desas-desus upaya kudeta terhadap Soekarno semakin kencang berseliweran dengan munculnya dokumen sir andrew gillchrist. Situasi jelas semakin memanas dan menyebabkan Aidit secara diam-diam terpancing untuk merumuskan respon terhadap rencana kudeta tersebut. Respon PKI melalui Aidit ini diduga merupakan sesuatu yang diharapkan -atau mungkin direncanakan- oleh semua kalangan terbatas kelompok anti komunis baik di Indonesia maupun di Amerika. Respon inilah yang akhirnya menjadi dalih dan pembenaran untuk menjatuhkan Soekarno dan menghancurkan musuh politik -bukan ideologis- utama tentara menuju kekuasaan Indonesia dimasa datang yaitu komunis.
Dalam sekuel yang lebih rinci, respon yang dijalankan secara buruk oleh Syam itu karena hanya berkonsentrasi pada penculikan para jenderal yang merencanakan mengkudeta Soekarno akhirnya semakin hancur ketika beberapa keputusan yang sporadik yang menjadi ciri dari gerakan itu juga membunuhi para jenderal. Terbunuhnya para jenderal ini kemudian diolah sedemikian rupa oleh tokoh tak terduga -mungkin juga lapis kedua ‘teman dekat’ CIA- Soeharto untuk mengkonsolidasi secara maksimal guna membangkitkan kemarahan masa terhadap tindakan para penculik jenderal tersebut. Tidak itu saja Soeharto dengan berani juga melarang perwira pro Soekarno, Umar Wirahadi Kusuma dan Pranoto untuk memenuhi panggilan Soekarno ke Lubang Buaya.
Skenario PKI yang hancur ditangan syam itu kemudian semakin menjadi blunder dengan kelihaian Soeharto untuk mengelola bahkan membalikan situasi demi situasi dari yang mengintimidasi para jenderal anti komunis dan anti soekarno menjadi memberikan amunisi lengkap bagi dua serangan utama yang telah lama diharapkan: menjatuhkan Soekarno dari kekuasaan dan menghancurkan komunisme.
Dalam mengelola situasi tersebut, Suharto membuat sebuah plot provokasi yang dirancang agar Soekarno, pada 11 Maret 1966, mengeluarkan surat perintah kepada Soeharto untuk mengendalikan situasi, yang kemudian dikenal dengan sebutan Supersemar. Tapi, Soeharto menggunakan Supersemar itu untuk membubarkan PKI yang sebagian besar aksi-aksi pembubaran tersebut dibiayai CIA dan merebut simpati para politisi dan mahasiswa serta ‘merebut’ kekuasaan. MPR mengukuhkan Supersemar itu dan menolak pertanggungjawaban Soekarno serta mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden.
Supersemar yang kini masih menjadi misteri bukanlah satu-satunya saksi bisu sejarah kelam kudeta dan penghianatan terhadap negara, bahkan banyak saksi hidup berupa manusia yang dibisukan oleh orde baru guna menutup rapat bangkai kudeta terhadap Soekarno. Supersemar yang walaupun wujudnya tak pernah terlihat tapi subtansinya -yang memang bukan berisi pelimpahan kekuasaan- sudah semakin banyak diketahui orang. Supersemar hanyalah salah satu instrumen kecil yang dimanipulasi Suharto untuk menegakan Orde Baru. Namun alangkah tidak beradabnya bila hanya untuk alasan itu (kekuasaan dan politik), Suharto dan Orde Baru harus tidak saja menghianati cita-cita pemerintahan sebelumnya yang bersikeras mempersatukan Indonesia apapun ideologi dan kepentingan politiknya tapi juga membunuh jutaan manusia demi menjamin tidak terganggungnya sebuah kekuasaan yang penuh ambisi dan ketergantungan.
Pemerintah bukan hanya dituntut untuk mengumpulkan bukti sejarah yang sengaja disembunyikan, tapi pemerintah juga harus meluruskan bengkok-bengkok sejarah yang selama ini telah meracuni masyarakat Indonesia selama hampir setengah abad.