[Ahmad Hambali Site]

Begitu mereka ada, dunia menjadi tidak sederhana. Setiap kenikmatan menjadi hambar tanpa keikutsertaan mereka. Bagiku, kenikmatan dunia hanya ada, jika mereka juga menikmatinya. Inilah dunia kami, Dunia, dimana tangis, tawa dan bahagia berjalan beriringan

Catatan Pilpres 2009: Antara Janji, Cela dan Kepastian July 9, 2009

Filed under: 1,Catatan — ahmadineia @ 9:36 am
Tags:

Pilpres 2009 telah berlalu, hasilnya, SBY-Boediono dinobatkan sebagai presiden versi quick count. “Kemenangan” ini seakan melengkapi kemenangan Partai Demokrat dalam Pileg 2009 lalu. Namun, sebagai sebuah proses yang menentukan dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, menang atau kalah seharusnya tidak menjadi penting. Tidak saja karena menang atau kalah hanyalah suatu keniscayaan hidup yang paradoksal tapi juga karena kemenangan atau kekalahan dalam sebuah pemilu telah menjadi salah satu elemen penting dalam menyelesaikan perbedaan secara damai dan beradab menuju cita-cita nasional yang lebih luas.

Walaupun masih banyak kekurangan yang harus dibenahi, baik dalam proses, prosedur, capaian, sikap dan prilaku para peserta pilpres 2009, dari hari kehari tidak diragukan, pemilu presiden langsung yang kedua ini telah semakin memperlihatkan hasil yang positif atas berlangsungnya pendidikan politik bagi rakyat. Di masa datang, tentunya semua kekurangan tersebut harus semakin menghilang.

Catatan ini tidak ditujukan untuk menganalisis secara mendalam apa yang terjadi dalam Pilpres 2009, coretan ini hanya bermaksud menegaskan betapa pentingnya membangun cita-cita dalam kerangka yang lebih elegan, hormat-menghormati dan sportif.

Mengapa yang demikian cukup penting, semua tidak lain karena semua orang siap untuk menang, bahagia dan dipuja tapi jelas perlu waktu untuk menerima kalah, menderita dan terhina. Oleh karena itu, akan semakin signifikan untuk memahami makna dibalik tujuan bangsa yang lebih besar sebagaimana semua capres/cawapres selalu menjualnya kepada publik pada setiap sesi kampanye.

Ketika hasil Pileg 2009 lalu mulai jelas kepermukaan, bisa jadi sedikit elit dan politisi yang menjadikannya sebagai pelajaran berharga dalam menghadapi Demokrat dan SBY-nya. Secara sederhana bisa digambarkan bahwa hanya ada dua partai yang mengalami kenaikan suara yaitu Partai Demokrat ddan PKS. Itu artinya terjadi penggembosan suara diseluruh partai lama, baik karena konflik internal maupun faktor lain.

Dengan berbagai faktor tersebut, suara partai Golkar di 2009 paling tidak bocor ke sejumlah kanal partai terutama ke partai Hanura dan Gerindra. Sedangkan PDIP, yang harus mewaspadai kejaran partai Golkar digembosi oleh PDP dan mungkin kehilangan suara dipartai lain. Dalam soal hilangnya suara, PKB dan PPP juga menjadi partai yang cukup menderita, konflik yang didera didua partai ini menyebabkan posisi perolehan suara mereka melorot ke papan tengah dan bawah, bahkan dua partai tersebut tidak lebih baik dari PAN yang karena banyaknya partai yang gembos jadi naik beberapa tingkat.

Terakhir adalah dua pendatang baru (tapi lama) politik Indonesia, yaitu Hanura dan Gerindra yang kedua-duanya digawangi oleh tokoh militer asal Golkar, Wiranto dan Prabowo.

Bagi Hanura posisi sembilan pada Pileg 2009 merupakan level yang pantas mengingat konsolidasi yang cukup lama namun tidak dibarengi oleh belanja iklan dan sosialisasi yang banyak. Berbeda dengan Hanura, Gerindra merupakan partai yang amat merugi terutama dikaitkan dengan belanja iklannya yang cukup fantastis, move-move dan konsolidasi isu yang ditata sedemikian rupa. Tidak hanya itu, pengemasan dan nilai atraktif yang termuat didalam berbagai iklannya, sempat membius berbagai kalangan sehingga tampaknya ‘cukup sukses’ untuk menyeruak dibenak banyak orang menjelang pemilu.

Tapi fakta yang terjadi ternyata berbeda dengan usaha Gerindra dan klan Djojohadikusumo. Iklan yang sempat memenuhi setiap layar kaca masyarakat tersebut hanya mampu mendahului Hanura di posisi delapan. Jelas ini merupakan sesuatu yang diluar perkiraan bukan hanya oleh pengurus partai ‘garuda’ tersebut tapi juga masyarakat lain. Inilah yang kurang lebih sama terjadi pada pilpres 2009, yang diproduk dengan gaya dan hasil yang hampir mirip.

Gerindra dan Prabowo sendiri menurut saya menjadi salah satu pelajaran penting dari sekian hikmah yang termuat dalam pemilu 2009 kita. Gerindra bukan saja menjadi partai yang berani mengirim nilai tawar tinggi kepada partai pemenang pemilu 1999, PDIP untuk memaksakan posisi presiden dalam pasangan koalisi, tapi juga amat dipengaruhi oleh karakter Prabowo yang banyak diceritakan orang sangat percaya diri termasuk dalam memukul lawan-lawan politiknya dalam berbagai kesempatan.

Dengan gayanya yang khas dan tampil menyerang tersebut, sedikit banyak telah menggugah rasa dan kesadaran masyarakat akan profil pemimpin yang selayaknya dimiliki bangsa ini. Lagi-lagi, saya menduga ini yang juga menjadi salah satu pertimbangan pemilih dalam Pilpres 2009. Dengan demikian, sisi baik dari sikap agresif cawapres ini adalah semakin terasahnya rasionalitas dan kehati-hatian masyarakat dalam pemimpin.

Jika Prabowo dan Megawati tetap tidak merubah gaya kampanyenya yang menyerang hingga beberapa kali iklannya ditolak stasiun TV, gelagat yang sama juga terjadi pada JK seiring dengan memanas dan retaknya koalisi SBY dan JK untuk bersanding kembali dalam Pilpres 2009.

Dikitari beberapa tokoh yang sempat memanas-manasi pencalonan JK sebagai presiden, lama kelamaan, gaya kampanye JK langsung menohon setiap kebijakan pemerintahan yang ia sendiri masih menjadi bagian didalamnya. Tidak hanya cukup dengan strike style yang antara lain tercermin pada semboyannya “Lebih Cepat Lebih Baik,” JK juga harus bersitegang dan perang saling klaim dengan SBY mengenai perannya dipemerintahan seperti yang terjadi pada kasus perdamaian Poso, Ambon dan Aceh.

Saking panasnya saling serang diantara keduanya, suatu kali, SBY pun mengeluh dengan menyebut bahwa dirinya sedang dikeroyok dari dua arah. Kejadian itu terus berlangsung dipanggung publik dan dicermati masyarakat babak demi babak tanpa terlewat.

Sementara hari H pencontrengan kian dekat, tak satupun tim sukses kedua calon mau sedikit menoleh kebelakang dan mencermati kurang berhasilnya Gerindra dan Prabowo.  Mereka bahkan berpikir bahwa dengan semakin menjatuhkan pemerintahan, mereka akan semakin banyak menuai simpati masyarakat.

Nyatanya, walaupun baru sebatas quick count, tindakan itu bukan hanya salah tapi juga blunder yang semakin menghilangkan simpati masyarakat. Faktor logistik memang penting, namun pilihan Indonesia hari ini ternyata semakin mengerucut pada personifikasi orang perorang. Tidak ada satu orangpun dapat mewakili pilihan baik materi, simbol-simbol maupun pengaruh-pengaruh lain. Bahkan, di Bantar gebang, tempat deklarasi Mega-Pro yang menurut salah satu stasiun TV, masyarakatnya konon dijanjikan sejumlah jaminan bantuan tetap tidak mampu mendongkrak popularitas Mega. Mega hanya menang di dua TPS di 11 TPS yang ada. JK pun begitu, walaupun konon ia didukung habaib Jakarta, Kiai Cirebon dan Jawa Timur, Peta Jawa ditunjukan membiru.

Menarik pelajaran dari ini semua, kembali teringat dengan budaya bangsa kita yang memang khas timur, yang ramah, sopan santun dan beradab. Di Indonesia, orang merasa wajib mendukung suatu pihak yang terus menerus dizalimi seperti juga pernah terjadi pada Mega ketika dia dizalimi Suharto dan Orde Baru.  Dengan demikian, SBY sesungguhnya telah menjadi pemenang persis ketika lawan-lawannya telah memulai lontaran perang hujat dan caci. Bahkan dalam beberapa hal ia mencoba mengolahnya menjadi sebuah counter strike mematikan.

Pemilu 2009 bisa disebut sebagai pertarungan antara janji dan kepastian, berbagai aspek domestik, regional dan internasional kemudian mulai menguji sebagian pemilih kita. Semua itu diperkaya oleh cita-cita perbaikan yang harus dilandaskan oleh -setidaknya- sebuah kepastian dan kemudahan adaptasi masyarakat terhadap pola lahirnya kebijakan-kebijakan pemerintah. Terlalu gambling, bagi rakyat untuk memulai dari nol dan perlunya mencari pemimpin yang tidak terlalu banyak berhutang pada rakyat juga menjadi ukuran penting pemilu kali ini.

Dengan berbagai pertimbangan tersebut, masih bisa dipahami bila hitung cepat berbagai lembaga survei menunjuk bahwa rakyat masih ingin memastikan suatu keadaan yang mampu dijadikan modal sebagai perubahan yang lebih baik ketimbang segala sesuatunya harus dimulai dari nol. Ini belum termasuk berbagai kalkulasi dan matematika politik yang juga menguntungkan Yudhoyono.

Dengan ‘kemenangannya’, banyak orang berharap, SBY benar-benar memanfaatkan amanah rakyat untuk semakin memperbaiki kinerjanya dengan mengurangi privatisasi aset negara, melepaskan jerat kapitalisme internasional sesegara mungkin, mendukung penuh program pro rakyat, menolak impunitas dan semakin mensejahterakan masyarakat dengan lebih cepat, lebih tepat dan lebih baik.

Selamat memiliki presiden baru, semoga bangsa ini terus bergerak kearah yang semakin baik.