[Ahmad Hambali Site]

Begitu mereka ada, dunia menjadi tidak sederhana. Setiap kenikmatan menjadi hambar tanpa keikutsertaan mereka. Bagiku, kenikmatan dunia hanya ada, jika mereka juga menikmatinya. Inilah dunia kami, Dunia, dimana tangis, tawa dan bahagia berjalan beriringan

CIA, Adam Malik dan Urgensitas Pengungkapan Kebenaran November 25, 2008

Filed under: Catatan — ahmadineia @ 8:42 am
Tags: , , ,

Tidak ada seorangpun yang berharap, bila tokoh nasionalnya kemudian dicatat orang lain sebagai bagian dari orang yang bermasalah dengan semangat nasionalisme bangsanya apalagi dituduh terlibat sebagai agen intelijen asing. Isu ini kini mengemuka, ketika buku versi Indonesia Tim Weiner tentang Sejarah CIA semakin banyak dibaca orang. Dalam sebuah catatannya tentang peristiwa menjelang kudeta Soekarno, Clyde Mc Evoy mengaku kepada Weiner telah merekrut dan mengendalikan Adam Malik yang waktu itu masih duduk dikabinet Soekarno, sebagai agen CIA yang akan membantu Amerika dalam mensukseskan creeping coup.
Sebenarnya, menurut buku tersebut, Mc Evoy tidak hanya merekrut Adam Malik, dengan bantuan Marshall Green, Dubes AS waktu itu, Kepala Stasiun CIA ini juga mendekati dua tokoh lain yang juga disebut bersedia bekerjasama bersama Malik untuk membantu CIA.
Saya jelas, tidak bergembira dengan berita ini, namun sebagai seorang peneliti saya berharap menemukan data lain sebagai pembanding kelemahan atau kelebihan data ini.
Penemuan saya terhadap buku Weiner merupakan konsekuensi akademik dari apa yang telah saya lakukan tiga tahun belakangan ini. Hampir separuh riset awal saya tentang keterlibatan CIA pada kudeta Soekarno selalu menyebut Legacy of Ashes sebagai salah satu rujukan penting. saya melihat Weiner, tentu saja melalui karyanya, termasuk orang yang tekun. Ketekunannya saya kira bukan suatu yang menurut para peneliti dibidang ini (national security) membosankan. Saya yakin waktu 20 tahun bagi Weiner untuk sabar bergelut dengan puluhan ribu dokumen declassified pemerintah Amerika menjadi tantangan tersendiri. Dengan kegigihannya dan fasilitas FOIA (regulasi kebebasan informasi amerika) yang disediakan pemerintah, Weiner berhasil merekam 60 tahun perjalanan sejarah CIA sejak Truman hingga Bush.
Buku yang merekam sejarah hubungan Amerika-Indonesia, jelas bukanlah yang pertama, Paul F Gardner, juga pernah menulis 50 tahun hubungan Amerika-Indonesia. Walaupun tidak selugas Weiner, buku Gardner ini juga merupakan rujukan utama para peneliti kebijakan luar negeri Amerika terhadap Indonesia. Selain Gardner dan Weiner, terdapat juga riset yang mengkhususkan keterlibatan operasi CIA diseluruh dunia seperti yang ditulis dalam Killing Hope-nya William Blum atau Portrait Cold Warriornya James Bulkholder Smith yang juga mantan petinggi CIA di Indonesia dan peneliti intelijen Kenneth Conboy dalam bukunya yang menyitir pernyataan mantan Direktur Perencanaan CIA, Frank Weisner “Feet To The Fire.” Dari kalangan akademisi yang juga rajin mengamati Indonesia dari isu ini tentunya adalah suami istri Kahin, George dan Audrey, Edward Herman dan dosen MIT, Noam Chomsky.
Saya cukup tertarik dengan perangai Amerika yang mempersilahkan masyarakat untuk bisa mengakses berbagai dokumen resmi mereka mengenai keterlibatannya dalam kebijakan perang diluar negerinya. Namun begitu, kebebasan informasi Amerika terutama yang berkaitan dengan isu sensitif terutama tentang Indonesia, tetap menjadi misteri. Black Block yang terdapat dalam dokumen-dokumen declassified pemerintah Amerika merupakan cermin bahwa disclusore dokumen pemerintah Amerika tetap mengacu kepada konteks situasional national security Amerika.

Ditengah perdebatan tersebut sesungguhnya perlu bagi kita untuk melihat konteks peristiwa yang terjadi sebelumnya yang antara lain terlihat pada:

Pertama, Perang Dingin.
Berkaitan dengan konteks sejarah yang dikutip Weiner pada saat itu, semua bisa menjadi mungkin karena dunia dibelah menjadi dua kutub dalam perang dingin, free world dan komunis.
Diawali oleh long telegram, charge de affair AS di Uni Sovyet, George Kennan yang memberi masukan tentang kebijakan luar negeri Uni Sovyet, Amerika kemudian melancarkan European Recovery Program (Marshall Plan) hingga Containment Policy. Program-program tersebut kemudian diikuti oleh operasi rahasia roll back untuk melawan kecurigaan ekpansi sovyet diseluruh dunia. Perang ini pada akhirnya memaksa Amerika untuk mengkonsolidasi sekutu penting eropanya untuk memperkuat basis perlawanan Amerika terhadap Sovyet di benua eropa.
Dengan strategi tersebut, maka Belanda menjadi salah satu kawan yang paling dekat yang sangat diuntungkan oleh kebijakan Amerika dalam membendung komunisme di eropa. Kebijakan ini jelas mempersulit upaya Indonesia dalam melepaskan penjajahan Belanda karena back up yang diberikan Amerika secara politik dan ekonomi.
Karena perang dingin ini, Amerika memiliki sikap yang paradoks mengenai Indonesia. Disatu sisi, Amerika melalui Atlantic Charter 14 Agustus 1941 menolak kolonialisme, namun pada pertemuan dengan ratu wilhelmina 6 April 1942, Presiden Rossevelt meyakinkan bahwa Amerika akan mengembalikan Indonesia kepada Belanda.
Sikap Amerika ini juga tak lepas dari keinginan presiden Rossevelt yang memasukan Hindia Belanda (Indonesia) sebagai sumber bahan mentah dan potensi pasar bagi produk barat. Akibatnya, kemerdekaan Indonesia sudah diantisipasi akan didelegitimasi Amerika yang bersama sekutu berhasil mengambil alih kekuasaan Jepang di Asia termasuk Indonesia lewat pertemuan Postdam Juli 1945 dengan menyerahkan tanggungjawab Indonesia dari Komando Pasifik Barat Daya, Jenderal Mc Arthur kepada Komando Asia Tenggara Inggris Laksamana Lord Louis Mountbatten. Kebijakan penyerahan kekuasaan tersebut kemudian dilaksanakan pada 13 Juli 1946.
Hingga akhir tahun 1946, Belanda telah berhasil merebut wilayah penting Indonesia, kini Indonesia hanya memiliki Sumatera, Jawa dan Madura. Oleh karena kebijakan tersebut, Indonesia mulai menjadi sasaran kebijakan luar negeri Amerika dari yang paling lembut hingga yang paling ektrem yaitu pada seputar kudeta 1965.

Kedua Perang terhadap Komunisme.
Sebagai bagian dari tujuan perang dingin Amerika, perang terhadap komunisme bukan hanya membuat Indonesia terjepit diantara dua blok yang sedang panas. Karena sikap ini, Amerika bukan hanya tidak mendukung kemerdekaan Indonesia, tapi juga merestusi upaya rekolonisasi belanda sejak Indonesia sedang mempersiapkan kemerdekaannya jauh-jauh hari.
Akibatnya, Indonesia kembali menjadi sasaran serangkaian kecurigaan pemerintah Amerika tentang kecenderungan pemimpin Indonesia yang pro komunis. Hingga tindakan Soekarno terhadap pemberontakan komunis di Madiun 1948, tuduhan dan ketakutan Amerika akan simpati pemerintah Indonesia terhadap komunisme semakin kuat. Pemerintah Amerika yakin, kemenangan Amerika untuk memerangi komunisme di Vietnam tak akan berarti apa-apa bila Indonesia masuk dalam jaring blok kiri. Karena keyakinan ini, pemerintah Amerika bahkan berpesan kepada seluruh duta besarnya mulai dari Jhon Alison, Hugh Cumming hingga Green, bahwa menjadikan Indonesia pecah dua bahkan berkeping-keping adalah lebih baik ketimbang mempertahankan persatuan Indonesia sementara mereka jatuh ketangan Komunis.
Kebijakan ini kemudian diwujudkan dengan memecah Indonesia dengan membentuk negara federal di perjanjian Linggarjati. Belum sempat politik pecah belah itu diwujudkan, perpecahan justeru terjadi diantara tokoh nasional dan berakibat mundurnya syahrir dari kursi perdana menteri. Tidak hanya, Di dalam pemerintahan Indonesia, penolakan Indonesia atas kesepakatan tersebut juga membuat kongsi antara Amerika dan Belanda berada dalam titik kritis. Amerika tetap menyerukan Belanda agar menghindarkan tindakan militer. Seruan itu didasarkan pada dua kekhawatiran [1] terbukanya kedok Amerika yang selama ini lebih mendukung Belanda ketimbang Indonesia [2] kekhawatiran serangan belanda akan melumpuhkan industri tambang Amerika di Sumatera.
Karena digelapkan oleh hantu komunisme, pemerintah Amerika yang lebih banyak menerima laporan dikalangan intelijen ketimbang diplomatnya bukan hanya sering tertipu oleh laporan-laporan CIA tapi juga dikelabui Belanda tentang maraknya gerakan komunis di Indonesia. Laporan dan kritik yang objektif sering datang dari pejabat keduatan AS di Batavia sejak 1920 yang menolak penggambaran Belanda bahwa setiap orang Indonesia yang menentang pemerintah kolonial adalah komunis. Pendapat ini diutarakan oleh Konsul AS di Batavia sejak Chas L. Hoover hingga Albert E. Clattenberg.
Kecurigaan tanpa dasar, dukungan kolonisasi Belanda yang paradoks dengan cita-cita founding fathers Amerika serta rencana kudeta 1958 membuat masyarakat Indonesia semakin yakin bahwa Amerika benar-benar tak bisa diharapkan. Namun fakta ini tidak diakomodasi oleh elit politik dan kelompok anti soekarno. Banyak elit politik yang anti Soekarno dan anti PKI tetap memelihara kontak dengan Amerika, akibatnya banyak skenario dan bantuan rahasia yang mengalir untuk konsolidasi program menentang Soekarno dan PKI.
Penjelasan Soekarno bahwa pelibatan PKI dalam pemerintahan adalah kenyataan politik yang mendudukan PKI sebagai partai terbesar keempat sehingga bukan hanya harus diundang dalam pemerintahan tapi juga semata-mata agar PKI juga dapat diminta pertanggungjawabannya bila bangsa ini terjerembab, tetap tidak diubris.
Sementara gangguan pemerintah Amerika terhadap Soekarno yang semakin besar dan simpati Uni Sovyet terhadap negara terjajah seperti Indonesia dan realisasi bantuan lebih dari 100 juta dolar semakin membuat Amerika semakin menajamkan beberapa skenario menumpas komunis dan semua pihak yang berada didekatnya.
Dalam kurun waktu tersebut, Amerika secara resmi dan bertahap mulai mengurangi bantuan luar negerinya tetapi secara diam-diam membantu kelompok dan sekutunya di Indonesia. Pada titik ini, saya melihat bukan materi dan posisi politik yang diharapkan oleh sekutu Amerika di Indonesia, tapi lebih kepada upaya bersama melawan Soekarno yang dituduh telah dekat dan melindungi komunis. Di Indonesia sendiri banyak tokoh yang anti komunis dan anti Soekarno yang tidak semuanya rela bekerjasama dengan CIA hanya demi menggempur dua musuh politik mereka. Namun syahwat kekuasaan Amerika untuk menumbangkan komunisme sama kuatnya dengan upayanya untuk mengambil kesempatan kisruh politik dalam negeri untuk dijadikan tragedi. saya sepakat dengan Jhon Roosa, bahwa Amerika tidak sepenuhnya terlibat dalam kudeta Soekarno. Namun saya melihat, Amerika sebagaimana telah disebutkan dalam beberapa dokumen FRUS, mengambil tindakan yang sangat hati-hati terhadap Soekarno termasuk dalam merumuskan operasi penyingkirannya.

Ketiga Eksploitasi Kekayaan Alam Indonesia
Oleh karena keberhasilan yang amat luar biasa atas jatuhnya komunisme yang disimbolkan pada PKI, Soekarno dan pengikutnya, presiden Kennedy menyebut Indonesia sebagai hadiah paling istimewa yang diberikan Asia tenggara kepada Amerika.
Pergerakan yang menarik setelah jatuhnya Soekarno bisa diamati dalam dokumen pemerintah Amerika, biografi dubes dan tokoh intelijennya termasuk catatan-catatan lain yang menunjukan adanya [1] semacam persiapan untuk merancang Soeharto sebagai presiden yang perlu diback up paling tidak dalam dua-tiga tahun kedepan, [2] mempersiapkan tim ekonomi yang membantu ketidakcakapan militer yang disimbolkan dalam pribadi Soeharto dalam mengatasi ekonomi yang ditinggalkan orde lama yang diserahkan pada Sumitro Cs yang bukan hanya terdiri dari sebagian kelompok anti Soekarno dan PKI tapi juga merupakan didikan Amerika (Barkeley), [3] Memasok hutang dan bantuan luar negeri kepada pemerintahan baru lewat program PL beras, kapas dan kerjasama lainnya.
Jatuhnya Soekarno dan ditumpasnya komunis, tidak hanya telah menjadi titik kulminasi kemenangan blok barat di kawasan sepanjang Asia hingga Australia dan Selandia Baru tapi juga telah memastikan masa depan sumber energi Amerika yang tak pernah habis di Freeport, Sumatera dan kawasan lain Indonesia yang secara de facto sangat menguntungkan Amerika hingga kini. Indikasi itu juga tampak dengan segera disahkannya UU PMA tahun 1967 yang menjadi titik tolak keberlanjutan ekspolitasi Amerika di Indonesia. Langkah strategis yang dilakukan orde baru ini merupakan langkah paling dekat Soeharto setelah sebelumnya Soeharto menggagalkan kelompok Soekarno yang bermaksud menasionalisasi perusahaan Amerika sesaat sebelum Soekarno jatuh.

Jika kita mencoba menelusuri beberapa data pemerintah Amerika mengenai apa yang terjadi dimasa gelap politik Indonesia, maka hampir dipastikan kita tidak dapatkan secara utuh. Tidak seperti laporan komisi intelijen senat tentang plot pembunuhan presiden (The Church Committee investigated CIA plots to assassinate foreign leaders), sebuah Interim Report yang diterbitkan pada tahun 1975, yang berisi rencana pembunuhan terhadap Patrice Lumumba (Congo), Fidel Castro (Cuba), Rafael Trujillo (Dominican Republic), Ngo Dinh Diem (Vietnam) dan Rene Schneider (Chile) atau dokumen CIA tentang kudeta Ahmad Mussadeq di Iran tahun 1953 juga tentang dokumen dukungan CIA terhadap kudeta Salvador Allende di Chile 1973 yang dilansir dengan dukungan FOIA Amerika. Data tentang Indonesia pada FRUS Vol. XXVI yang pada tahun 2003 dipublikasi kemasyarakat hanya sebentar dan kemudian ditarik.
Saya menduga, ‘ketidakterbukaan’ pemerintah Amerika dalam soal Indonesia erat kaitannya tidak hanya dengan ‘hubungan baik’ (yang bisa dibaca sebagai ketergantungan Indonesia terhadap Amerika) tapi juga berkait dengan kelangsungan eksploitasi sumber daya alam Indonesia oleh perusahaan raksasa Amerika mulai dari Papua (Freeport), Sulawesi, NTB (Newmont), Jawa (Chevron, Exxon), Sumatera (Exxon, Caltex) dan wilayah-wilayah lain. Dengan posisi ini sulit bagi Indonesia untuk meminta bantuan Amerika untuk mengklarifikasi nama Adam Malik seperti yang dikutip Weiner dan juga tokoh lain yang terlibat dalam operasi besar ‘menyelamatkan Indonesia’ dari Komunisme pada kurun 1958-1965 tapi menempatkannya dibawah ketiak eksploitasi kapitalisme.
Martabat dan nasib bangsa ini hanya ada ditangan kita, lagi-lagi kitalah yang memainkan peran untuk sedikit lebih cerdas mengkoreksi kesalahan masa lalu dengan membenarkan apa yang telah secara salah ditulis oleh para pemenang dalam sejarah yang penuh kebohongan. Momentum dibentuknya Komisi Kebenaran Pengungkapan Sejarah yang regulasinya dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada periode lalu adalah sebuah kesalahan yang fatal. Namun demikian belum ada kata terlambat untuk mengungkapkan sejarah secara tulus dan jujur. Pemerintah bisa salah, apalagi seorang Weiner, tapi puaskah hanya dengan ditemukannya kesalahan tanpa terdapat upaya untuk mengakui dan memperbaiki kesalahan?
Kasus Adam Malik, saya yakin hanya sebagian kecil dari dokumen sejarah kita yang berserak dimana-mana. Oleh karena itu, jangan lagi sejarah disetting oleh para pemenang yang hanya akan memunculkan kontroversi yang tak berujung.

Bahan Bacaan

Paul F Gardner, “Shared Hopes, Separate Fears : Fifty Years of US-Indonesian Relations,”
(Colorado : Westview Press, 1997).
Joseph Burkholder Smith “Portrait of a Cold Warrior: Second Thoughts of a Top CIA Agent” (New
York: Ballantine Books, 1981)
Tim Weiner, “Legacy of Ashes: The History of CIA,” (London: Penguin Books Ltd, 2007).
Baskara T Wardaya, “Cold War Shadow:United States policy toward Indonesia,” (Yogyakarta:Galang Press, 2007)
George McT.Kahin, and Audrey R.Kahin, “Subversion as Foreign Policy: The Secret Eisenhower
and Dulles Debacle in Indonesia,” (New York: The New Press, 1995). Edward C. Keefer and David S. Patterson, “Foreign Relations, 1964-1968
Indonesia; Malaysia-Singapore; Philippines,” (Washington: United States Government Printing Office, 2001).
US Senate, “Alleged Assassination Plots Involving Foreign Leader,” Report No.94-465, 94th Congress 1st session, (Washington: United States Government Printing Office, 1975

 

Leave a comment